Dewasa ini banyak penyimpangan-penyimpangan gejolak hati yang
menimpa kaula muda. Tidak sedikit mereka yang terperangkap dalam lembah
kenistapaan dan kehancuran yang diharamkan Islam. Juga tidak sedikit berita-berita
baik lewat media FB, twitter, televisi maupun dunia maya lainnya prihal
pergaulan-pergaulan bebas remaja masa kini yang berujung pada hubungan yang
semestinya tidak dilakukan.
Dan masih hangat berita mengenai kasus pelajar yang senonoh melakukan hal yang tidak wajar
dilakukan oleh pelajar. Sebab eksistensi pelajar dialah yang mampu mengemban
dan memikul nama baik almamternya dengan berprilaku dan beretika sesuai dengan
norma-norma yang diajarkan di kelasnya yaitu norma-norma Islam yang menjadi
akar dari keberhasilan sebuah pendidikan. Karena sejatinya kesuksesan
pendidikan tidak hanya bertitik pada kecerdasan intelektual semata, melainkan
bermuara pada kecerdasan spiritual. Sebenarnya tidak hanya pelajar yang
terjerat pada perbuatan yang dilarang ini tetapi siapa pun bisa terjerat dalam
lembah yang sama, naudzubillah min dzalik. Oleh karena itu pemuda dan siapa pun
harus tahu cara untuk meredam hasrat yang mengganggu jiwanya. Melihat realita
dan fakta yang terjadi dikalangan pemuda khususnya, diperlukan adanya rem untuk
menghindari diri dari perbuatan dosa tersebut. Salah satu rem untuk menghindari
diri dari dosa zina adalah menikah ataupun berpuasa sunnah. Banyak ayat-ayat
yang menjelaskan tentang perial nikah seperti QS Annisa’: 3, QS Annur: 32, dan
QS Annisa: 19 dan hadis-hadis sperti hadis dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu, Rasulullah
shollahu ‘alaihi wasallam bersabda: يا معشَرَ الشَّباب
من استطاعَ منكم الباءة فليّتزوجْ فإنه اغضّ للبصرِ وأحصَنُ للفرج. ومن لم
يسْتَطِعْ فعليه بالصومِ فإنه لهُ وِجاءً. رواه البخاري ومسلم واللفظ لهما وأبو
داود والنسائ وابن ماجه واحمد والترمذي [1] Hai para pemuda, barang siapa diatara kamu yang
telah sanggup memikul tanggung jawab berumah tangga, maka menikahlah! karena pernikahan
itu dapat menundukkan mata dan kemaluan (dari dosa). Siapa yang belum sanggup,
hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menundukkan syahwat nafsu birahi.
(HR Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Annasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, dan Tirmidzi). Masih banyak hadis-hadis yang
menjelaskan keutamaan nikah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah shollahu ‘alaihi wasallam bersabda: تنكح المرةُ لأربع: لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينِها. فظفر
بذات الدين ترِبَتْ يداك. رواه البجاري ومسلم وأبو داود والنسائ وابنُ ماجه[2]
artinya: "Wanita umumnya dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Karena itu, pilihlah yang memiliki agama, kalian akan beruntung". sampai-sampai Ulama salaf memberikan
ijtihadnya tentang hukum nikah, syarat sah nikah, faedah-faedah nikah dan
kejelekan-kejelekan nikah. Akan penulis uraikan insya Allah berikut.
Hukum nikah Nikah disunnahkan bagi mereka yang
mempunyai hasrat dan mampu memikul beban tanggung jawab rumah tangga, seperti
mempunya biaya mahar, memberikan pakaian, nafkah setiap harinya. Tidak disunnahkan menikah bagi
mereka yang mempunyai hasrat tetapi tidak mampu memikul tanggung jawab diatas,
bahkan yang sunnah baginya adalah tidak menikah. Sementara untuk meredam nafsu
birahinya dengan cara berpuasa seperti apa yang dianjurkan oleh Rasulullah.
Kalau dengan puasa masih tidak bisa dikendalikan syahwatnya tidak apalah
menikah dan bertawakkallah pada Allah sebab Allah akan menanggung rizki orang
yang menikah dengan niatan agar terjaga dari dosa[3]. Menikah juga dapat menentramkan hati
sebagaimana hadis riwayat Sahabat Jabir Radiyallahu ‘Anhu, katanya: “Rasulullah
saw pernah terlihat pada seorang wanita, lalu beliau segera mendatangi isteri
beliau Zainab yang sedang menyimak kulit, guna melepaskan rasa rindunya.
Sesudah itu beliau pergi menemui para sahabatnya, lalu beliau bersabda,
“sesungguhnya wanita itu datang dan pergi bagaikan setan. Maka bila kamu terlihat
kepada wanita, datangilah isterimu, karena yang demikian itu dapat
menenteramkan gejolak hatimu. (HR Imam Muslim)[4]. Disamping menikah mempunyai nilai
positif berupa faedah-faedah menikah dan juga tidak menutup celah dari nilai
negatifnya berupa kejellekan-kejelekan nikah, seperti yang diungkapkan oleh
Imam al-Ghazali dalam buku populernya ihya’ ulumiddin sebagai berikut: Faedah-faedah nikah Faedah dari menikah dapat memperoleh anak yang
saleh, memecahkan syahwat, mengatur rumah tangga, memperbanyak keluarga,
mendapat pahala atas jerih payah memberi nafkah bagi mereka. Jika anaknya saleh, maka ia mendapat berkah
darinya, dan jika anaknya wafat, maka ia menjadi pemberi syafaat baginya. Kejeleka-kejelekan nikah Sedangkan sisi jeleknya menikah
bilamana sulit memberi nafkah dari jalan yang halal, sedangkan mencari yang halal
itu hukumya wajib. Barangkali pula ia kurang memenuhi haknya. Istri mempunyai
hak dan suami wajib memenuhinya dengan baik dan bersikap lemah lembut
terhadapnya. Ini tidak mampu dilakukan kecuali oleh orang-orang kuat. Termasuk kejelekan-kejelekan besar
adalah bila istri dan anaknya lalai dari mengingat Allah Ta’ala dan meneempuh
jalan akhirat. Tidak sampai disitu, Imam al_Ghozali
memberikan jalan tengah, mana yang dapat mendekatkan diri pada Allah.
Menikahkah atau membujangkah?. Inilah ungkapan beliau, “kami telah
mengingatkanmu atas faedah-faedah dan kejelekan-kejelekannya. Hal itu pastinya
berbeda menurut perbedaan orang-orang dan keadaannya masing-masing. Maka,
ujilah keadaanmu dan pilihlah bagi dirimu mana yang terdekat bagimu kejalan
akhirat”. Akhir kata, menikah menjadi solusi
jitu untuk menjauhkan diri dari lembah jurang kegelapan dosa menuju pancaran
sinar pahala dari nikah yang diniatkan karena Allah, menjaga keturunan dan
menyambung sunnah Nabi. Tetapi menikah juga menjadi sebuah tantangan bagi para
penempuhnya, akankah dia mampu berjalan dijalan yang telah digariskan oleh
Allah dan mampu menggiring anak keturunan dan isterinya dikenalkan kepada Allah
dengan segala kemampuannya ataukah justru dengan menikah dia semakin jauh dari
Allah sebab godaan anak-anaknya dan isterinya untuk berjalan diperahu
kesuksesan dibawah perahu syariat yang dipandu oleh baginda Rasulullah Shollahu
‘Alaihi Wasallam.
[1]
Fathul Qariib al-Mujiib ‘ala Tahdzibit Targhib Wattarhib Ta’lif al-Imam Sayyid
Alwi Ibnu Abbas al-Maliky (hal 210)[2]
Fathul Qariib al-Mujiib ‘ala Tahdzibit Targhib Wattarhib Ta’lif al-Imam Sayyid
Alwi Ibnu Abbas al-Maliky (hal 210-211)[3]
Fathul Mu’in bisyarhi Qurratul ‘Ain Ta’lif Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz
al-Maribary (hal 98) dan Fathul Quutul Habibil Gharib Ta’lif Syaikh Nawawi bin
Umar al-Bantany (hal 195)[4] Terjemah
Hadis Shohih Muslim, Bab Kitabunnikah (hal 45)
1 komentar:
sip
Posting Komentar