Syaikh Al-Ajfuri dalam kitabnya, Al-Taqlid Asy-Syari’u Al-Ajfuri
(83): Bilamana kita perhatikan akan kita jumpai bahwa bertaqlid merupakan
tabiat dan kelaziman manusia sebagaimana manusia dengan bayangannya (yang tak
akan terpisahkan), tidak mungkin bagi siapapun menanggalkan taqlid dan lari
menjauh darinya. Bahkan seorang yang mengkalim dirinya tak bertaqlid dengan
siapapun sesungguhnya dalam kenyataannya (faktanya) telah bertaqlid juga, meski
mereka tidak bertaqlid pada salah satu Imam yang empat yang sudah masyhur
dikalangan umat Islam. sebenarnya mereka telah bertaqlid pada mayoritas orang
awam. Logikanya adalah seorang anak
pasti bertaqlid pada orang tuanya dalam segala hal termasuk dalam pelaksanaan
sholat, misalnya. Tidak mungkin seorang anak melaksanakan sholat tanpa ia
melihat bagaimana orang tuanya melaksanakan sholat. Tidak mungkin seorang istri
mempraktekkan syiar-syiar Islam kecuali setalah ia bertanya pada suaminya atau
pada orang tuanya. Sedikit sekali bahkan jarang akan kita jumpainya seorang
yang mengerti dan memahami Al-Qur’an dan hadits dengan sendirinya sehingga mau
tidak mau dengan sendirinya seseorang bertaqlid meski dia tak mengakuinya
dengan jujur.
Jangankan dalam urusan agama dan akhirat, dalam ranah yang bersifat
dunia saja, seseorang mau tak mau masih bertaqlid dengan orang lain. Seorang
dokter handal yang dapat menangani pasiennya yang sedang sakit, ia tak akan
mampu mengobati pasiennya dengan hanya bertendensi pada buku-buku dan data-data
yang ia baca, namun ia juga melihat langsung dan berguru pada dokter yang lain,
belajar dengan teori sekaligus praktek secara langsung. Oleh sebab itu,
bagaimanapun manusia tak akan mampu lari sejauh mungkin dari yang namanya
taqlid. Sebab taqlid adalah tabiat manusia yang tak akan bisa dihindari. Kalau
dalam masalah dunia seseorang mau tak mau harus bertaqlid, meniru, melihat apa
yang telah orang lain lakukan, maka dalam urusan akhiratpun dan agama seseorang
mau tak mau harus bertaqlid pada Imam-imam, pemuka ulama yang telah disepati
oleh umat untuk diikuti, seperti taqlid atau ikut Imam Syafii, Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Akhir-akhir ini sering terdengar dari telinga ke telinga kata-kata
“jangan bertaqlid buta”. Kata-kata “jangan taklid buta” yang seakan-akan bermakna
orang-orang yang bertaqlid dengan mengikuti pendapat salah-satu pendiri dari
empat madzhab (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafii & Madzhab
Hambali) merupakan kesalahan fatal dan dituduh bertaqlid buta lantaran tidak
ikut langsung dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Shollallahu
alaihi wasallam, seolah-olah orang
bertaqlid tidak ikut Al-Qur’an dan hadits. Bagaimana pun dalam kondisi
sekarang, umat manusia wajib bertaqlid dengan salah satu dari empat Madzhab
tersebut, bahkan komentar Imam Ibnu Hajar menukil dari pendapat ulama ushul,
bahwa setelah masanya Imam Syafii belum ada mujtahid mustaqil (independen).
Maka tidaklah berdosa mereka yang bertaqlid dengan mengikuti pendapat para
ualama.
Sebelum penulis
bahas mendalam tentang bertaqlid, penulis kemukakan terlebih dahulu definisi
dari taqlid. Syaikh Muhyiddin Abdus Shomad dalam kitabnya Al-hujajul
Qathi’ah Fi Shihhati Muqtaqidati Wal ‘Amaliyatin Nahdiyah (hal/42) menukil
pendapatnya Imam Asy-Syahid Ramadhan Al-Buti dari kitab Allamadzhabiyah
Akhtharu Bid’atin Tahaddadas Syariatal Islamiyah (hal/69) mengatakan: “Taqlid
adalah mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui argumentasi (hujjah/dalil)
dari keabsahan pendapat yang diikutinya, meskipun dia memiliki potensi
mengetahui argumentasi atas keabsahan taqlidnya sendiri”[1].
Bertaqlid atau
mengikuti pendapat para ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasi dari
amaliyah yang diikutinya tidaklah sepenuhnya di larang, bahkan hukum bertaqlid
adalah wajib bagi mereka yang bukan sekaliber Imam-Imam Mujtahid yang memiliki
kemampuan dan kapasitas dalam segala bidang keilmuan dan terpenuhinya
syarat-syarat berijtihad (menggali hukum sendiri dari sumber aslinya, Al-Qur’an
dan Hadis, Ijma dan Qiyas). Sampai-sampai Imam As-Suyuti menegaskan bahwa
manusia itu terbagi menjadi dua: 1. Mujtahid. 2. Bukan Mujtahid. Barangsiapa
yang bukan Mujtahid wajib bertaqlid secara mutlak, baik dia awam maupun alim,
dengan berdasarkan firman Allah yang artinya: Kami tidak mengutus rasul
sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri
wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui. [QS. Al Anbiya 21: 7].[2]. Hadratus
Syeikh KH Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdlatul Ulama dalam kitab “Risalah
Ahli Sunnah Waljamaah fi Haditsi al-Mauta Waasyrathi as-Saati Wabayani Mafhumi
Ahli al-Sunnati Waljamaah”: Menurut Mayoritas Ulama bagi setiap oarang yang
bukan ahli ijtihad mutlaq wajib bertaqlid dan mengikuti fatwa para Mujtahid.
Dalam kitab Bughiyatul
Mustarsyidin disebutkan, ada seorang pencari ilmu, banyak mempelajari
kitab-kitab karangan ulama, seperti tafsir, hadis, fiqih. Dia memiliki
kecerdasan dan pemahaman yang luar biasa, namun dia mengeluarkan hukum
(berfatwa) dengan pendapatnya sendiri dengan menyatakan mayoritas umat ini
sesat dan menyesatkan dari akidah yang benar dan dari ajaran Nabi Muhammad SAW,
kemudian dia membuang semua karya ulama-ulama, tidak mengikuti pendapat para
madzhab, tapi bersikukuh untuk berijtihad, menggali hukum (istinbath hukmi)
dari Al-Qur’an dan Hadis, padahal dia tidak memiliki persyaratan yang wajib
dipenuhi dalam berijtihad, dan memajibkan umat tuk mengikuti pendapatnya, maka
sesungguhnya orang tersebut wajib kembali kepada kebenaran, membuang jauh-jauh
pengakuan yang batil diatas. Tidak sampai di sini, penulis kitab Bughiyatul
Mustarsyidin melanjutkan, apabila dia membuang karya-karya ulama, lantas
dengan apa dia akan bertendensi dengan hukum Islam?. Padahal dia tidaklah hidup
semasa dengan Nabi Muhammad SAW, tidak semasa dengan para Sahabat Nabi.
Penting diketahui
bahwa bertaqlid bukanlah bidah, kesesatan dan biang kemunduran umat Islam
seperti yang telah dituduhkan oleh sekelompok orang yang liberal seperti
Muhammad bin Abduh, Rasyid Ridho dan sejenisnya. Bahkan kalau mau jujur,
sebenarnya taqlid sudah dipraktekkan oleh para Sahabat Nabi Muhammad
shollallahu alaihi wasallam dan para Tabi’in. Mereka yang bukan kalangan Fuqaha
(Ahli Fiqih) dan yang tidak mengerti cara menggali hukum (istinbath) yang
berasal dari Al-Qur’an dan hadits akan bertanya pada sahabat lain yang menjadi
pakar fiqih (Fuqaha) kemudian mengamalkannya tanpa menanyakan hujjah (dalil-dalilnya).
Diperkuat lagi bahwa penduduk Mekkah mengunggulkan dan mengamalkan pendapatnya
Sayyidina Ibnu Abbas dalam masalah khilafiyyah. Penduduk Madinah mengamalkan
apa yang dikatakan oleh Sayyidina Zaid bin Tsabit. Penduduk Kufah juga
mengunggulkan dan mengamalkan pendapat pemuka mereka, Sayyidina Abdullah bin
Mas’ud. Bahkan sudah maklum Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam telah
mengutus Sayyidina Muadz bin Jabal ke Negeri Yaman dan menjadikannya sebagai
Qadi. Hal ini menunjukkan bahwa bertaqlid menjadi keniscayaan dan ketetapan
yang berdasarkan dari Al-Qur’an dan hadits.
Alhasil,
dalam kondisi yang tidak memiliki kapasitas menjadi mujtahid karena minimnya
keilmuan dan tidak meiliki syarat ketat yang dimiliki Mujtahid, wajib baginya
untuk bertqalid pada salah satu empat Madzhabt. Justru aneh, orang yang
mengatakan lantang “jangan taqlid buta”, padahal sendirinya belum menguasai
disiplin keilmuan sekeliber ulama-ulama salaf terdahulu yang karyanya masih ada
hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar