Mengutip komentar Syaikh Musthafa al-Ghalayaini dalam kitabnya ‘iddzatun nasyiin anak adalah di masa mendatang. Anak akan menjadi generasi dan tokoh penting di masanya, maka ia harus dibiasakan sejak dini dengan pola pikir dan tingkah laku yang positif dengan pendidikan yang baik dan berkualitas. Sebab kepribadian seorang anak tergantung pada bagaiamana orang tuanya dalam mendidik. Oleh karenanya kata Syaikh Musthofa al-Ghalayaini, anak diibaratkan sebuah fotografi yang dapat mengambil gambar setiap pemandangan dengan beraneka warna.
Orang tua dalam
mendidik anaknya menjadi anak yang baik dan berkualitas tidak cukup hanya
dengan memberikan materi, mengajarkan kebaikan, dan menunjukkan pada hal-hal
yang baik begitu saja, tetapi orang tua harus memberi contoh dengan berprilaku
baik pula pada anak-anaknya, memberi tauladan qur’ani dan berlemah lembut serta
punya sifat kasih sayang. Jika anaknya melakukan kesalahan orang tua tidak
langsung memarahinya didepan umum tetapi memberi pemahaman dengan kasih sayang.
Pola pendidikan semacam ini lebih melekat dalam hati setiap anak, sebab anak
lebih dapat berprilaku seperti prilaku yang dicontohkan kedua orang tuanya.
Dalam keseharian
orangtua dituntut untuk mengajarkan dan sekaligus menerapkan nilai
kesederhanaan hidup, tidak terlalu boros dan tidak terlalu kikir. Orangtua juga
wajib mengajarkan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang harus
dilakuakan dan mana yang harus ditinggalkan agar seorang anak mempunyai
karakter soleh dan dapat membedakan mana yang sesuai dengan prinsip hati
nuraninya dan tidak terjerumus pada tindakan yang merugikan dunia dan akhirat.
Sebab, bilamana anak itu tahu tentang mana yang bahaya, seperti hukum haramnya
riba dalam praktik perekonomian, niscaya dia akan lebih berhati-hati dan
menjahuinya. Disiplin ilmu ekonomi Islami atau yang kita kenal dengan sebutan
ekonomi syariah menjadi kewajiban setiap Muslim untuk mengetahui dan
memperaktikkannya dalam dunia nyata, tidak hanya menjadi sebuah teori melainkan
mejadi sebuah kewajiban yang harus diterapkan dan dipraktikkan dalam keseharian.
Hal ini mustahil akan terwujud tanpa adanya fasilitas pemahaman, pengetahuan
tentang ekonomi syariah yang notabene bersumber dari wahyu ilahi yang
menjunjung tinggi asas keadilan dan kesejahteraan, dan tanpa adanya kontribusi
orangtua, guru dan lembaga-lembaga lainnya yang berkomitmen kuat memajukan
ekonomi syariah pada jiwa anak bangsa ini sejak dini.
Mendidik Anak Kewajiaban Orangtua.
Pada dasarnya
mendidik anak merupakan kewajiban orang tua. Ayah tidak hanya mempunyai
kewajiban memberikan nafkah, makanan, pakaian dan kehidupan pada anaknya,
melainkan ia wajib pula mengajarkan akhlak dan ilmu pada anak-anaknya agar
kelak menjadi anak yang berbirrul walidain, berbakti pada kedua orang
tua, sopan santun dan berakhlak yang baik pada orang lain. Ibu tidak hanya
wajib mengayun dan memandikan anak begitu saja, tetapi ibu juga wajib mendidik
anaknya dengan pendidikan yang baik. Sebagiamana dalam ungkapan kalam arab “al-umm
madrasatul abna”, artinya ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Maka peran
seorang ibu dalam mendidik anaknya dengan pendidikan yang baik lebih signifikan
ketimbang seorang ayah, sebab ibulah yang lebih menghabiskan hari-harinya
berinterksi langsung dengan anaknya, mengasuh, memandikan dan membesarkannya.
Di sinilah peran penting orang tua di dalam menanam dan memupuk mental dan
prilaku yang baik pada setiap jiwa anaknya.
Pada saat orangtua
tidak punya kesempatan mendidik sendiri anak-anaknya baik karena ada faktor
kesibukan dengan pekerjaan atau pun karena faktor lainnya, maka ia tidak boleh
dengan melepaskan anaknya begitu saja, membiarkan dalam bingkai kebodohan,
tetapi orangtua punya kewajiban memasukkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah
atau madrasah-madrasah, baik dari level TK, SD, SMP, SMA, Pesantren sampai pada
Perguruan Tinggi Islam. Sebab dengan pendidikan yang baik akan memunculkan
generasi yang baik pula. Dan perlu diketahui bahwa kunci kesuksesan anak tidak
hanya sebatas dilihat dari kecerdasaan intelektual belaka tetapi juga dilihat
dari segi kecerdasaan emosional dan spiritual. Dimana seorang anak dapat
merealisasikan apa-apa yang telah diperoleh dari pendidikannya, ia cerdas, peka
pada masayarakat, suka membantu, dan berprilaku yang sopan santun pada siapa
pun, menyayangi yang lemah dan punya sifat belas kasihan pada setiap makhluk
Allah.
Penanaman Ilmu Ekonomi Islam Sejak Dini
Dalam tulisan ini
penulis tidak bicara pendidikan secara global melainkan membahas pendidikan
anak dalam spesifikasi lingkup ekonomi Islam sejak dini. Artinya orang tua
sejak dini harus mengajarkan nilai-nilai keislamanan tidak hanya dalam ranah
prilaku yang menyentuh keakhiratan seperti mengajarkan tata cara sholat, zakat,
haji dan hubungan ibadah lainnya tetapi orang tua juga harus menanamkan pada
jiwa anak-anaknya mental dan prilaku yang baik dalam dunia perekonomian
berbasis syariah yang bersifat keduniannya, bagaimana cara mencari mencari
rizki yang halal, memotivasi untuk tidak ganggur baik dengan bekerja, pengusaha
ataupun yang menjadi penyedia lapangan kerja, supaya kelak ketika beranjak
dewasa dan seterusnya seorang anak tidak hanya menjadi orang yang sholeh dalam
segi keakhiratan tetapi juga sholeh dalam segi kedunian, khususnya dalam
kehidupan perekonomian.
Dalam Islam tidak
hanya memerintahkan pemeluknya menjadi pribadi sholeh dalam segi keakhiratan
saja, melainkan ada perintah untuk menjadi pribadi baik dalam segala ranah
kehidupan. Islam tidak hanya mengajarkan seorang menjadi ahli ibadah semata,
tetapi Islam juga mengajarkan menjadi pribadi yang peka pada lingkungan,
bersosialisasi, bermuamalah dengan jujur dan sebagainya. Hal ini tidak akan tercapai
kecuali dengan pemahaman nilai-nilai keislamanan dalam segala aspek, khususnya
disiplin ilmu ekonomi syariah ditanamkan pada setiap anak agar menjadi pribadi
yang dapat bertanggung jawab dan tidak melakukan penipuan, manipulasi,
spekulasi dan penindasan hak-hak orang lain. Banyak ayat maupun hadis yang
menjelaskan tentang keseimbangan hidup antara yang bersifat akhirat dan yang
bersifat keduniaan. Allah subhanawu wa ta’ala dalam salah satu ayatnya tidak
menafikan dunia dalam kehidupan, tetapi dunia juga menjadi salah satu penguat
kita beribadah pada-Nya. Dalam ayat Al-Qashsash yang berbunyi: “Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)negeri akhirat,
dan janganlahn kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS: Al-Qashash 77) adalah
penggalan ayat yang mengendikasikan agar kita semua tidak hanya beribadah tanpa
melupakan hak dan kewajiban kita pada diri sendiri yaitu kewajiban menjaga
kesehatan tubuh kita, makan, minum dan lainnya. Bahkan menurut Nashr Akbar dan
Abdul Wahid Al-Faizin dalam bukunya TAFSIR EKONOMI KONTEMPORER Kajian Tafsir
Al-Qur’an Tentang Ekonomi Islam, bahwa kandungann tafsir dari ayat diatas
ada empat perintah: 1) perintah untuk mencari kebahagiaan di akhirat, 2)
perintah untuk tidak melupakan urusan duniawi, 3) perintah untuk berbuat baik kepada
sesama, 4) perintah untuk tidak membuat kerusakan.
Pengertian Ekonomi Syariah
Dalam buku Hukum
Ekonomi Islam Syariah, karya Prof. Dr. H. Zainuddin Ali. M.A disebutkan,
“Apabila merumuskan pengertian dalam pe rsi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
maka ekonomi syariah berarti perbuatan dan/atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a.
bank syariah;
b.
lembaga keuangan mikro syariah;
c.
asuransi syariah;
d.
reasuransi syariah;
e.
reksadana syariah;
f.
obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah;
g.
sekuritas syariah;
h.
pembiayaan syariah;
i.
pegadaian syariah;
j.
dana pension lembaga keuangan syariah;
k.
bisnis syariah.
Bahkan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. H. Arfin Hamid. MH “dapat dipahami bahwa
ekonomi syariah mengandung pengertian, yaitu segala ketentuan hukum (ayat/dalil
hukum) baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul maupun berasal dari
sumber-sumber hukum Islam lainnya serta bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara positif yang mengatur kegiatan ekonomi
(muamalah iqtishadiyyah)”. Dari sini dapat dipahami ekonomi syariah harus tidak
bertentangan dengan hukum-hukum yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an,
Hadis-hadis Rasulullah, sumber hukum Islam lainnya seperti qiyas dan ijma’
ulama dan tidak bertentangan dengan peraturan undang-undang yang berlaku
positif.
Dalam penerapannya ekonomi Islam harus bebas dari bunga atau riba
yang diharamkan, tidak melakukan kecurangan, monopoli, tidak boleh hanya
sekedar mengoptimalkan bisnisnya demi keuntungan semata tanpa adanya pedoman
bisnis yang halal, tidak pula berbisnis dengan semaunya tanpa ada nilai-nilai
ibadah atau etika dalam berbisnis. Sebab eksistensi berbisnis bukan hanya ingin
mendapatkan kebahagian secara materi tetapi juga non materi, yaitu kebahagian hati dengan
mengikuti bisnis yang diajarkan Rasulullah Saw. Seorang yang kaya dengan
bisnisnya belum tentu dia mendapatkan kebahagian, ketentraman hati dan
keberkahan rezeki bilamana kekayaan yang diperolehnya adalah dari hasil bisnis
yang tidak dibenarkan oleh Islam, seperti kekayaan yang diperoleh dengan
mendzalimi patnernya, menipu, dan segala praktik bisnis yang dilarang oleh
Islam.
Harta dalam Pandangan Islam
Karena seorang
anak akan menjadi seorang tokoh dan akan ditokohkan di masa mendatang,
sebagaimana yang diwasiatkan oleh Urwah bin Zubair bin Awam: “wahai anakku…
belajarlah, sesungguhnya biarpun kamu anak kecilnya kaum, barangkali nanti kamu
akan menjadi tokoh mereka”, maka ia diharapkan dapat berkontribusi memberikan
yang terbaik untuk masyarakatnya dan dapat bertanggung jawab. Dia dapat
menularkan ilmu dan pola pikirannya pada masyarakatnya agar terlepas dari
belenggu kebodohan, ia dapat membantu masyarakatnya dengan tenaga yang ia
miliki dan ia dapat membantu mereka yang miskin dengan uang berbentuk zakat,
sedekah, wakaf dll. Dengan bekal ilmu yang ia miliki, seorang anak akan tahu
bagaimana memposisikan harta dalam kehidupannya serta bagaimana pandangan Islam
tentang harta yang dimilikinya.
Islam adalah
tunduk, patuh, dan pasrah pada apa yang dibawa oleh Rasulullah saw, dengan kata
lain sami’na wa atha’na ( kami mendengar dan taat pada apa yang
diajarkan Nabi). Belum dikatakan Islam yang sempurna, kalau hanya mendengarkan
tetapi tidak mengindahkan aturan-aturan yang dibawa Nabinya, sebab Islam adalah
praktik dari ajaran rasul bukan sebatas nama. Dr. H. Ibrahim Lubis, Bc. HK.
Dipl. Ec dalam buku Ekonomi Islam Suatu Pengantar, “Islam adalah agama
praktis, maka dengan hukum-hukumnya berdasarkan fakta-fakta telah diatur
kebutuhan-kebutuhan hidup, dan pada waktu yang sama digabungkan antara
kepentingan-kepentingan rohani dan jasmani secara adil dan seimbang”. Islam
telah mengatur bagaimana kita bersikap dan memanfaatkan harta yang kita miliki.
Islam telah mengatur hubungan harta dengan tukar menukar yang didalamnya
terdiri dari akad jual-beli, sewa (ijarah), hutang-piutang, salam, wadi’ah dan
lain-lainnya yang berhubungan dengan aktifitas perekonomian. Islam memandang
harta memiliki kedudukan terhormat, mempunyai nilai tinggi. Al-Qur’an
memberikan gambaran tentang harta-harta yang terpuji yang dimiliki seorang
hamba Allah. Bukti Al-Qur’an memuji harta adalah peletakan kata maal
atau harta diawal bergandengan erat dengan kata jihad, yakni dalam Al-Qur’an
kata “jihad dengan harta” didahulukan daripada “jihad dengan jiwa raga”,
seperti bunyi ayat: Orang-orang yang beriman dan berhijrah, serta berjihad
di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi
derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan
QS:At-Taubah: 20). Menurut Dr Ali Muhyiddin Al-Qarahdaghy dalam bukunya
yang berjudul “al-Madkhal Ilal I’tishad al-Islam” bahwa jihad dengan
harta termasuk jihad yang paling mulia dan agung serta dapat menyelamatkan umat
dari kekufuran, kefakiran, kebodohan, dan virus penyakit.
Pada hakikatnya siapa pun tidak dilarang untuk mencari harta karena
bagaimanapun harta dibutuhkan sebagai penunjang keberlangsungan kehidupan,
artinya manusia membutuhkan harta, tetapi harta bukanlah segala-galanya. Ada
hal yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana harta yang dimilikinya dapat
menjadikan pemiliknya mulia di sisi Allah. Oleh karenanya Islam telah
mengajarkan para pemeluknya untuk bersikap adil pada harta, yaitu menempatkan
harta sesuai porsi harta itu sendiri, tidak menuhankan harta, dan dalam
pencarian harta tidak sampai melupakan ibadah-ibadah yang menjadi kewajiban
seorang hamba Allah. Mencari harta dengan jalan yang benar sesuai aturan-aturan Islam. Sahabat Ibnu
Musayyib mengatakan, “ tidaklah ada nilai baik bagi seseorang yang mengumpulkan
harta dari jalan yang tidak halal”.
Harta akan bernilai positif disisi Allah dan manusia jikalau harta
digunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan dan orang yang lemah, dan
dijadikan sarana menuju pembangunan kemajuan perekonomian demi kemajuan Islam,
peradaban dan pendidikan, sampai-sampai Imam Sufyan at-Tsauri memberi motivasi
untuk berharta, beliau mengatakan: “pada masa kini harta menjadi senjata bagi
orang-orang mukmin”. Dengan harta yang dialokasikan untuk kemajuan struktrur
pendidikan, kesehatan dan pembangunan akan menciptakan masyarakat handal,
berilmu, sehat dan berkarakter baik.
Tapi juga yang menjadi titik perhatian adalah dalam mencari harta
harus bersikap zuhud (tidak cinta harta/dunia) dalam mengarungi kehidupan ini
agar tidak rugi. Terus bagaimanakah yang dimaksud dengan zuhud (tidak cinta)
harta?. Menurut Syamsu-l Aryfin Munawwir dalam seminar “ Mendamaikan Mekanisme
Antara Sufi dan Pasar” yang diadakan KSEI PROGRES di Kampus STEI Tazkia, maksud
dari zuhud adalah bukan berarti kita dilarang memiliki harta dunia, tetapi
jangan sampai harta dunia memiliki ruang dalam hati yang menyebabkan lupa pada
Sang Pemilik dan Pemberi harta, Allah Azza Wa Jalla.
Dalam pandangan ulama sufi, zuhud adalah tidak cinta dunia. Meski
seseorang itu kaya, apabila hatinya tidak terikat dan tidak cinta dunia, maka
ia adalah seseorang yang zuhud. Sebaliknya, meski orang itu miskin, apabila
hatinya terikat dengan dunia dan cinta dunia, maka ia belum termasuk orang
zuhud. Zuhud atu tidak, buka dilihat dari fisiknya, tetapi dari hatinya.
Akhir kata, hidup di zaman yang serba modern ini, orang tua, guru,
lembaga harus sedemikian ekstra mendidik anak-anaknya agar tidak terbawa arus
moderenisasi yang bersifat negative, dimana kemaksiatan, keburukan, dan korupsi
telah mengepung kita. Oleh karenanya agar anak kelak menjadi pribadi yang baik,
jujur dan tidak melakukan penipuan dalam kehidupannya dibutuhkan pengetahuan
tentang urgensitas ilmu ekonomi syariah dan kaitannya dengan kehidupan dan
pengetahuan tentang hukum haramnya korupsi, panipulasi, spekulasi dan
ketidak-adilan, dengan harapan kelak menjadi pribadi unggul bernafaskan Islam,
menjunjung tinggi nilai keadialan, kemakmuran, kesejahteraan dan keamaaman
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar