Senin, 12 Mei 2014

URGENI PENDIDIKAN EKONOMI ISLAM SEJAK DINI

          
  Mengutip komentar Syaikh Musthafa al-Ghalayaini dalam kitabnya ‘iddzatun nasyiin anak adalah  di masa mendatang. Anak akan menjadi generasi dan tokoh penting di masanya, maka ia harus dibiasakan sejak dini dengan pola pikir dan tingkah laku yang positif dengan pendidikan yang baik dan berkualitas. Sebab kepribadian seorang anak tergantung pada bagaiamana orang tuanya dalam mendidik. Oleh karenanya kata Syaikh Musthofa al-Ghalayaini, anak diibaratkan sebuah fotografi yang dapat mengambil gambar setiap pemandangan dengan beraneka warna.
Artinya seorang anak yang masih dalam usia labil dengan mudah berkarekter seperti apa yang ia jumpai di dalam kehidupannya. Dia dapat berkarekter dan bertingkah laku baik maupun buruk sesuai dengan apa yang ia dapati dalam pendidikan keluarganya maupun dalam pergaulannya dengan teman-temannya. Dari sinilah peran pendidikan kelurga sangat urgen sekali membentuk pribadi seorang anak. Tanpa kita pungkiri bahwa setiap karakter kepribadian seorang anak tergantung pada pendidikannya di usia dini. Bahkan kata Imam al-Ghazali anak merupakan bentuk amanah yang dianugerahkan Allah pada kedua orang tuanya. Hatinya bersih sebersih mutiara, bening tanpa tercampuri ukiran dan gambar apa pun. Bilamana orang tua mendidik anaknya dengan ucapan yang baik, prilaku yang baik, pola pikir dan ilmu maka ia pun akan menjadi seorang yang berkarekter dan berjiwa baik, berprinsip dan penuh kejujuran.
            Orang tua dalam mendidik anaknya menjadi anak yang baik dan berkualitas tidak cukup hanya dengan memberikan materi, mengajarkan kebaikan, dan menunjukkan pada hal-hal yang baik begitu saja, tetapi orang tua harus memberi contoh dengan berprilaku baik pula pada anak-anaknya, memberi tauladan qur’ani dan berlemah lembut serta punya sifat kasih sayang. Jika anaknya melakukan kesalahan orang tua tidak langsung memarahinya didepan umum tetapi memberi pemahaman dengan kasih sayang. Pola pendidikan semacam ini lebih melekat dalam hati setiap anak, sebab anak lebih dapat berprilaku seperti prilaku yang dicontohkan kedua orang tuanya.
            Dalam keseharian orangtua dituntut untuk mengajarkan dan sekaligus menerapkan nilai kesederhanaan hidup, tidak terlalu boros dan tidak terlalu kikir. Orangtua juga wajib mengajarkan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang harus dilakuakan dan mana yang harus ditinggalkan agar seorang anak mempunyai karakter soleh dan dapat membedakan mana yang sesuai dengan prinsip hati nuraninya dan tidak terjerumus pada tindakan yang merugikan dunia dan akhirat. Sebab, bilamana anak itu tahu tentang mana yang bahaya, seperti hukum haramnya riba dalam praktik perekonomian, niscaya dia akan lebih berhati-hati dan menjahuinya. Disiplin ilmu ekonomi Islami atau yang kita kenal dengan sebutan ekonomi syariah menjadi kewajiban setiap Muslim untuk mengetahui dan memperaktikkannya dalam dunia nyata, tidak hanya menjadi sebuah teori melainkan mejadi sebuah kewajiban yang harus diterapkan dan dipraktikkan dalam keseharian. Hal ini mustahil akan terwujud tanpa adanya fasilitas pemahaman, pengetahuan tentang ekonomi syariah yang notabene bersumber dari wahyu ilahi yang menjunjung tinggi asas keadilan dan kesejahteraan, dan tanpa adanya kontribusi orangtua, guru dan lembaga-lembaga lainnya yang berkomitmen kuat memajukan ekonomi syariah pada jiwa anak bangsa ini sejak dini.
Mendidik Anak Kewajiaban Orangtua.
            Pada dasarnya mendidik anak merupakan kewajiban orang tua. Ayah tidak hanya mempunyai kewajiban memberikan nafkah, makanan, pakaian dan kehidupan pada anaknya, melainkan ia wajib pula mengajarkan akhlak dan ilmu pada anak-anaknya agar kelak menjadi anak yang berbirrul walidain, berbakti pada kedua orang tua, sopan santun dan berakhlak yang baik pada orang lain. Ibu tidak hanya wajib mengayun dan memandikan anak begitu saja, tetapi ibu juga wajib mendidik anaknya dengan pendidikan yang baik. Sebagiamana dalam ungkapan kalam arab “al-umm madrasatul abna”, artinya ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Maka peran seorang ibu dalam mendidik anaknya dengan pendidikan yang baik lebih signifikan ketimbang seorang ayah, sebab ibulah yang lebih menghabiskan hari-harinya berinterksi langsung dengan anaknya, mengasuh, memandikan dan membesarkannya. Di sinilah peran penting orang tua di dalam menanam dan memupuk mental dan prilaku yang baik pada setiap jiwa anaknya.
            Pada saat orangtua tidak punya kesempatan mendidik sendiri anak-anaknya baik karena ada faktor kesibukan dengan pekerjaan atau pun karena faktor lainnya, maka ia tidak boleh dengan melepaskan anaknya begitu saja, membiarkan dalam bingkai kebodohan, tetapi orangtua punya kewajiban memasukkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah, baik dari level TK, SD, SMP, SMA, Pesantren sampai pada Perguruan Tinggi Islam. Sebab dengan pendidikan yang baik akan memunculkan generasi yang baik pula. Dan perlu diketahui bahwa kunci kesuksesan anak tidak hanya sebatas dilihat dari kecerdasaan intelektual belaka tetapi juga dilihat dari segi kecerdasaan emosional dan spiritual. Dimana seorang anak dapat merealisasikan apa-apa yang telah diperoleh dari pendidikannya, ia cerdas, peka pada masayarakat, suka membantu, dan berprilaku yang sopan santun pada siapa pun, menyayangi yang lemah dan punya sifat belas kasihan pada setiap makhluk Allah.
Penanaman Ilmu Ekonomi Islam Sejak Dini
            Dalam tulisan ini penulis tidak bicara pendidikan secara global melainkan membahas pendidikan anak dalam spesifikasi lingkup ekonomi Islam sejak dini. Artinya orang tua sejak dini harus mengajarkan nilai-nilai keislamanan tidak hanya dalam ranah prilaku yang menyentuh keakhiratan seperti mengajarkan tata cara sholat, zakat, haji dan hubungan ibadah lainnya tetapi orang tua juga harus menanamkan pada jiwa anak-anaknya mental dan prilaku yang baik dalam dunia perekonomian berbasis syariah yang bersifat keduniannya, bagaimana cara mencari mencari rizki yang halal, memotivasi untuk tidak ganggur baik dengan bekerja, pengusaha ataupun yang menjadi penyedia lapangan kerja, supaya kelak ketika beranjak dewasa dan seterusnya seorang anak tidak hanya menjadi orang yang sholeh dalam segi keakhiratan tetapi juga sholeh dalam segi kedunian, khususnya dalam kehidupan perekonomian.
            Dalam Islam tidak hanya memerintahkan pemeluknya menjadi pribadi sholeh dalam segi keakhiratan saja, melainkan ada perintah untuk menjadi pribadi baik dalam segala ranah kehidupan. Islam tidak hanya mengajarkan seorang menjadi ahli ibadah semata, tetapi Islam juga mengajarkan menjadi pribadi yang peka pada lingkungan, bersosialisasi, bermuamalah dengan jujur dan sebagainya. Hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan pemahaman nilai-nilai keislamanan dalam segala aspek, khususnya disiplin ilmu ekonomi syariah ditanamkan pada setiap anak agar menjadi pribadi yang dapat bertanggung jawab dan tidak melakukan penipuan, manipulasi, spekulasi dan penindasan hak-hak orang lain. Banyak ayat maupun hadis yang menjelaskan tentang keseimbangan hidup antara yang bersifat akhirat dan yang bersifat keduniaan. Allah subhanawu wa ta’ala dalam salah satu ayatnya tidak menafikan dunia dalam kehidupan, tetapi dunia juga menjadi salah satu penguat kita beribadah pada-Nya. Dalam ayat Al-Qashsash yang berbunyi: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)negeri akhirat, dan janganlahn kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS: Al-Qashash 77) adalah penggalan ayat yang mengendikasikan agar kita semua tidak hanya beribadah tanpa melupakan hak dan kewajiban kita pada diri sendiri yaitu kewajiban menjaga kesehatan tubuh kita, makan, minum dan lainnya. Bahkan menurut Nashr Akbar dan Abdul Wahid Al-Faizin dalam bukunya TAFSIR EKONOMI KONTEMPORER Kajian Tafsir Al-Qur’an Tentang Ekonomi Islam, bahwa kandungann tafsir dari ayat diatas ada empat perintah: 1) perintah untuk mencari kebahagiaan di akhirat, 2) perintah untuk tidak melupakan urusan duniawi, 3) perintah untuk berbuat baik kepada sesama, 4) perintah untuk tidak membuat kerusakan.
Pengertian Ekonomi Syariah
            Dalam buku Hukum Ekonomi Islam Syariah, karya Prof. Dr. H. Zainuddin Ali. M.A disebutkan, “Apabila merumuskan pengertian dalam pe rsi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka ekonomi syariah berarti perbuatan dan/atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a.       bank syariah;
b.      lembaga keuangan mikro syariah;
c.       asuransi syariah;
d.      reasuransi syariah;
e.       reksadana syariah;
f.       obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
g.      sekuritas syariah;
h.      pembiayaan syariah;
i.        pegadaian syariah;
j.        dana pension lembaga keuangan syariah;
k.      bisnis syariah.
Bahkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. H. Arfin Hamid. MH “dapat dipahami bahwa ekonomi syariah mengandung pengertian, yaitu segala ketentuan hukum (ayat/dalil hukum) baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul maupun berasal dari sumber-sumber hukum Islam lainnya serta bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku secara positif yang mengatur kegiatan ekonomi (muamalah iqtishadiyyah)”. Dari sini dapat dipahami ekonomi syariah harus tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an, Hadis-hadis Rasulullah, sumber hukum Islam lainnya seperti qiyas dan ijma’ ulama dan tidak bertentangan dengan peraturan undang-undang yang berlaku positif.
Dalam penerapannya ekonomi Islam harus bebas dari bunga atau riba yang diharamkan, tidak melakukan kecurangan, monopoli, tidak boleh hanya sekedar mengoptimalkan bisnisnya demi keuntungan semata tanpa adanya pedoman bisnis yang halal, tidak pula berbisnis dengan semaunya tanpa ada nilai-nilai ibadah atau etika dalam berbisnis. Sebab eksistensi berbisnis bukan hanya ingin mendapatkan kebahagian secara materi tetapi juga  non materi, yaitu kebahagian hati dengan mengikuti bisnis yang diajarkan Rasulullah Saw. Seorang yang kaya dengan bisnisnya belum tentu dia mendapatkan kebahagian, ketentraman hati dan keberkahan rezeki bilamana kekayaan yang diperolehnya adalah dari hasil bisnis yang tidak dibenarkan oleh Islam, seperti kekayaan yang diperoleh dengan mendzalimi patnernya, menipu, dan segala praktik bisnis yang dilarang oleh Islam.
Harta dalam Pandangan Islam
            Karena seorang anak akan menjadi seorang tokoh dan akan ditokohkan di masa mendatang, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Urwah bin Zubair bin Awam: “wahai anakku… belajarlah, sesungguhnya biarpun kamu anak kecilnya kaum, barangkali nanti kamu akan menjadi tokoh mereka”, maka ia diharapkan dapat berkontribusi memberikan yang terbaik untuk masyarakatnya dan dapat bertanggung jawab. Dia dapat menularkan ilmu dan pola pikirannya pada masyarakatnya agar terlepas dari belenggu kebodohan, ia dapat membantu masyarakatnya dengan tenaga yang ia miliki dan ia dapat membantu mereka yang miskin dengan uang berbentuk zakat, sedekah, wakaf dll. Dengan bekal ilmu yang ia miliki, seorang anak akan tahu bagaimana memposisikan harta dalam kehidupannya serta bagaimana pandangan Islam tentang harta yang dimilikinya.
            Islam adalah tunduk, patuh, dan pasrah pada apa yang dibawa oleh Rasulullah saw, dengan kata lain sami’na wa atha’na ( kami mendengar dan taat pada apa yang diajarkan Nabi). Belum dikatakan Islam yang sempurna, kalau hanya mendengarkan tetapi tidak mengindahkan aturan-aturan yang dibawa Nabinya, sebab Islam adalah praktik dari ajaran rasul bukan sebatas nama. Dr. H. Ibrahim Lubis, Bc. HK. Dipl. Ec dalam buku Ekonomi Islam Suatu Pengantar, “Islam adalah agama praktis, maka dengan hukum-hukumnya berdasarkan fakta-fakta telah diatur kebutuhan-kebutuhan hidup, dan pada waktu yang sama digabungkan antara kepentingan-kepentingan rohani dan jasmani secara adil dan seimbang”. Islam telah mengatur bagaimana kita bersikap dan memanfaatkan harta yang kita miliki. Islam telah mengatur hubungan harta dengan tukar menukar yang didalamnya terdiri dari akad jual-beli, sewa (ijarah), hutang-piutang, salam, wadi’ah dan lain-lainnya yang berhubungan dengan aktifitas perekonomian. Islam memandang harta memiliki kedudukan terhormat, mempunyai nilai tinggi. Al-Qur’an memberikan gambaran tentang harta-harta yang terpuji yang dimiliki seorang hamba Allah. Bukti Al-Qur’an memuji harta adalah peletakan kata maal atau harta diawal  bergandengan  erat dengan kata jihad, yakni dalam Al-Qur’an kata “jihad dengan harta” didahulukan daripada “jihad dengan jiwa raga”, seperti bunyi ayat: Orang-orang yang beriman dan berhijrah, serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan QS:At-Taubah: 20). Menurut Dr Ali Muhyiddin Al-Qarahdaghy dalam bukunya yang berjudul “al-Madkhal Ilal I’tishad al-Islam” bahwa jihad dengan harta termasuk jihad yang paling mulia dan agung serta dapat menyelamatkan umat dari kekufuran, kefakiran, kebodohan, dan virus penyakit.
Pada hakikatnya siapa pun tidak dilarang untuk mencari harta karena bagaimanapun harta dibutuhkan sebagai penunjang keberlangsungan kehidupan, artinya manusia membutuhkan harta, tetapi harta bukanlah segala-galanya. Ada hal yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana harta yang dimilikinya dapat menjadikan pemiliknya mulia di sisi Allah. Oleh karenanya Islam telah mengajarkan para pemeluknya untuk bersikap adil pada harta, yaitu menempatkan harta sesuai porsi harta itu sendiri, tidak menuhankan harta, dan dalam pencarian harta tidak sampai melupakan ibadah-ibadah yang menjadi kewajiban seorang hamba Allah. Mencari harta dengan jalan yang benar  sesuai aturan-aturan Islam. Sahabat Ibnu Musayyib mengatakan, “ tidaklah ada nilai baik bagi seseorang yang mengumpulkan harta dari jalan yang tidak halal”.  Harta akan bernilai positif disisi Allah dan manusia jikalau harta digunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan dan orang yang lemah, dan dijadikan sarana menuju pembangunan kemajuan perekonomian demi kemajuan Islam, peradaban dan pendidikan, sampai-sampai Imam Sufyan at-Tsauri memberi motivasi untuk berharta, beliau mengatakan: “pada masa kini harta menjadi senjata bagi orang-orang mukmin”. Dengan harta yang dialokasikan untuk kemajuan struktrur pendidikan, kesehatan dan pembangunan akan menciptakan masyarakat handal, berilmu, sehat dan berkarakter baik.
Tapi juga yang menjadi titik perhatian adalah dalam mencari harta harus bersikap zuhud (tidak cinta harta/dunia) dalam mengarungi kehidupan ini agar tidak rugi. Terus bagaimanakah yang dimaksud dengan zuhud (tidak cinta) harta?. Menurut Syamsu-l Aryfin Munawwir dalam seminar “ Mendamaikan Mekanisme Antara Sufi dan Pasar” yang diadakan KSEI PROGRES di Kampus STEI Tazkia, maksud dari zuhud adalah bukan berarti kita dilarang memiliki harta dunia, tetapi jangan sampai harta dunia memiliki ruang dalam hati yang menyebabkan lupa pada Sang Pemilik dan Pemberi harta, Allah Azza Wa Jalla.
Dalam pandangan ulama sufi, zuhud adalah tidak cinta dunia. Meski seseorang itu kaya, apabila hatinya tidak terikat dan tidak cinta dunia, maka ia adalah seseorang yang zuhud. Sebaliknya, meski orang itu miskin, apabila hatinya terikat dengan dunia dan cinta dunia, maka ia belum termasuk orang zuhud. Zuhud atu tidak, buka dilihat dari fisiknya, tetapi dari hatinya.
Akhir kata, hidup di zaman yang serba modern ini, orang tua, guru, lembaga harus sedemikian ekstra mendidik anak-anaknya agar tidak terbawa arus moderenisasi yang bersifat negative, dimana kemaksiatan, keburukan, dan korupsi telah mengepung kita. Oleh karenanya agar anak kelak menjadi pribadi yang baik, jujur dan tidak melakukan penipuan dalam kehidupannya dibutuhkan pengetahuan tentang urgensitas ilmu ekonomi syariah dan kaitannya dengan kehidupan dan pengetahuan tentang hukum haramnya korupsi, panipulasi, spekulasi dan ketidak-adilan, dengan harapan kelak menjadi pribadi unggul bernafaskan Islam, menjunjung tinggi nilai keadialan, kemakmuran, kesejahteraan dan keamaaman bersama.





Tidak ada komentar:

PALING PUPULER

KONSEP BERBANGSA DAN BERNEGARA SYEKH MUSTAFA AL-GHALAYAINI

Perihal bengsa sama dengan perihal individu bangsa itu sendiri. Tatkala individu bangsa, setiap satu persatu orang-orannya itu m...