Oleh: Sela Siti Amaliah
Tahun Baru Islam 1437 H sudah
melewati hari-hari mahasiswa. Sejarah menulis, peristiwa hijrah Nabi Muhammad
SAW membawa peradaban baru: peradaban kemilau Islam yang penuh cahaya keimanan,
keilmuan dan spiritualitas yang seimbang.
Hijrah yang secara harfiyah bermakna pindah. Namun dalam
dalam sejarah hijrahnya Nabi Muhammad dari kota Mekah menuju Madinah membawa
perubahan-perubahan kemilau. Bagaimana tidak, Madinah yang disinggahi oleh Baginda
Sayyidina Muhammad SAW memberikan cahaya kemantapan dan kekuatan iman dan ilmu.
Sebab di Madinalah peradaban keilmuan berjalan signifikan. Dari halaqah-halaqah
ilmiah yang diselenggarakan di Masjid Nabawi sinar peradaban keilmuan terang
benderang. Kader-kader Rasulullah, para sahabat Nabi yang beliau didik kemudian
hari menjadi kader-kader yang tangguh dalam segala hal. Tangguh dalam keimanan
(spiritualitas), keilmuan (intelektualitas) dan amal nyata. Kesetian dan
kecintaan para sahabat Nabi kepada pembawa risalah islamiah tidak bisa
diragukan. Dalam perjuangan membela agama Islam serta mengibarkan nilai-nilai
ajaran Islam yang bersinar, para sahabat ikut serta bahu membahu bersama
Rasulullah. Jiwa, raga, harta dan akal pikiran diperjuangkan untuk kemajuan
bendera Islam.
Mahasiswa Islam sebagai penerus
estafet perjuangan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad selayaknya sadar.
Perjuangan menyebarluaskan nilai ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamiin tidak berhenti pasca wafatnya Sang Pembawa
cahaya Islam. Tetapi tugas menyebarluaskan nilai-nilai ajaran Islam yang penuh
keramahan, kesopanan, kasih sayang, kedamaian merupakan tugas kita (mahasiswa)
bersama. Karena tugas berat ini adalah kewajiban bagi kita yang mengaku seorang
intelek, maka bagaimanapun kita dituntut menjadi mahasiswa yang berilmu (intelektualitas)
lalu mengamalkan dan serta menyebarkannya (syiar).
Bukankah Syaikh Mustafa Al-Ghalayani pernah mengatakan: ditangan pemuda
(mahasiswa) urusan bangsa dan kontribusi pemuda (mahasiswa) kehidupan bangsa.
Hijrah mahasiswa dari yang asalnya
hanya beridentitas “mahasiswa” tanpa makna menuju “mahasiswa penuh makna”.
Maksudnya, identitas kemahasiswaannya tidak sebatas nama dan simbolis, namun
identitas mahasiswa harus selaras dengan arti mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa
adalah dua kata yang terdiri dari Maha dan Siwa. Aneh, jika kita yang
berkoar-koar mengaku mahasiswa, namun realitanya segi intelektualitas dan
spiritualitas kita kalah dengan siswa, adik-adik kita.
Pergantian dari detik ke detik, jam
ke jam, waktu ke waktu, siang ke malam, hari ke bulan, bulan ke tahun, tahun ke
tahun merupakan sunnatullah yang
bersifat alamiah dan pasti terjadi perubahan dan pergantian. Namun esensi dari
pergantian waktu ke waktu adalah bagaimana sekiranya kita menjadi mahasiswa
yang tidak merugi. Menarik apa yang acap kali kita dengar: barangsiapa yang
hari ini lebih jelek pekerjaannya ketimbang kemarin dialah merugi. Serta
pepatah arab yang artinya telur hari ini lebih baik daripada ayam hari esok.
Maksudnya, apa pun bentuknya kebaikan hari ini, perjuangan, kontribusi,
aktivitas, bersosialisasi, silaturahmi dll itu lebih baik kita lakukan dengan
segera tanpa harus menunggu besok hari. Oleh karenanya, hijrah kita harus
hijrah total. Dari yang awalnya malasa menuju hijrah kegigihan. Dari kebodohan
menuju hijrah intelektualitas. Dari kehampaan iman menuju hijrah keimanan
(spiritualitas) sempurna. Dari sifat acuh tak acuh hijrah menuju rasa empati.
Dan seterusnya.
Menurut hebat penulis, acara
memperingati tahun baru Islam (hijriah) dengan beragam acara yang diisi dengan
zikir, tausiyah, dan acara positif lainnya adalah sarana mempertajam
intelektualitas dan spiritualitas secara seimbang.
Dalam hati, kadang bertanya, kenapa
tahun baru Islam tidak semeriah perayaan tahun baru Masehi?. Bukankah akan
menjadi lebih indah jika perayaan tahun baru Islam diiisi dengan
kegiatan-kegiatan positif layaknya kemeriahan tahun baru masehi.
Wallahu A'lam Bishshowab.
*Mahasiswi STEI Tazkia Jurusan Akuntansi Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar