Pada dasarnya kami tidak ingin mempermasahkan
perbedaan-perbedaan yang ada di matrikulasi kampus STEI Tazkia, sepanjang perbedaan itu tetap
mengalir dingin tanpa harus menyalahkan pemahaman yang berbeda dengan
keyakinan masing-masing.
Realita berbeda, di matrikulasi yang sering
didengungkan, mahasiswa harus menerima perbedaan, tetapi saat sekelompok
mahasiswa yang berbeda dengan pemahaman pihak matrikulasi yang ingin melakukan amalan dan acara, seperti membaca sholawat
dibaiyah, maulid Nabi, tidak ada ruang dan kesempatan untuk merealisasikan amalan dan acara tersebut, bahkan
acap kali menyalahkan dan tidak mau menerima perbedaan.
Lalu di manakah suara
“HARUS MENERIMA PERBEDAAN”??. kalau realitanya bertolak belakang dengan ungkapan diatas. Tidak dipungkiri
bahwa Mahasiswa Matrikulasi STEI Tazkia terdiri dari mahasiswa yang berbeda-beda pemahaman, berbeda dalam keyakinan, berbeda dalam bermanhaj
dan bermadzhab. Mahasiswa ada yang Alumni pesantren yang bermadzhab Imam Syafii
yang dalam praktik sholat subuhnya berqunut, ada yang jebolan sekolah umum dan
sebagainya.
Tulisan ini tidak
ingin memperkeruh perbedaan, tetapi penulisan ini berangkat dari hati penulis
ingin bertanya kemanakah “KEADILAN HIDUP BERGANDENGAN TANGAN DIATAS
PERBEDAAN MASING-MASING” yang harus dibangun oleh pihak matrikulasi?.
Menurut data yang penulis himpun dari sebagian mahasiswa yang sedang megadakan
pembacaan sholawat, ada salah satu Pembina matrikulasi yang secara langsung
menolak adanya pembacaan sholawat di matrikulasi dengan berbagai alasan.
Padahal tentang pembacaan sholawat terlepas dari perbedaan adalah merupakan
bacaan yang dianjurkan. Dan pembacaan sholawat apa pun bentuk bacaannya ada
dalilnya. Tetapi di sini penulis tidak ingin panjang lebar membahas tentang
boleh dan tidak bolehnya membaca sholawat, semacam dibaiyah dan sejenisnya.
Melainkan titik pembahasan di sini adalah intoleransi perbedaan dalam pemahaman yang ada di matrikulasi. Wajar kalau pihak yang tidak pro atas
adanya pembacaan sholawat dibaiyah menolak dengan beragam alasan. Tetapi perlu
di ketahui bahwa tidak semua mahasiswa yang ada di matrikulasi kontra pembacaan
sholawat dibaiyah. Bukankah alangkah bagusnya kalau pihak matrikulasi menerima
perbedaan tanpa harus mencegah amalaiyah-amaliyah yang tidak sepaham dengannya. Toh
pada dasarnya praktik yang dilakukan mahasiswa juga ada dasarnya.
Bayangkan
kalau di matrikulasi memaksakan mahasiswa harus berjalan dalam manhaj yang
sealur dengan pihak ketua matrikulasi, mau tidak mau mahasiswa telah didoktrin
dan dipaksakan dengan mengikuti pemahaman yang sebelumnya berbeda dengannya.
Bukankah ini merupakan pemaksaan?. Sangat disayangkan, ada keluhan pengasuh
pesantern salaf, menuturkan bahwa santrinya melaporkan kepadanya, bahwa
ternyata dimatrikulasi tidak ada qunut saat sholat subuh. Spontan pengasuh
tersebut merasa menyesal dan iba kenapa matrikulasi tazkia tidak bisa
bertoleransi, minimal diimbangi antara adanya sholat subuh pakai qunut dan
yang tidak. Tetapi realitanya berbeda, di matrikulasi tidak ada seorang imam
pun yang qunut saat sholat subuh. Bukti ini penulis dapatkan dari wawancara
langsung dengan pihak mahasiswa yang menjadi saksi dan penulis berani
membuktikannya.
Maka secara tidak langsung, saat sholat subuh tidak ada qunut,
maka yang terlintas dalam benak pikiran mahasiswa qunut dalam subuh berarti
bukan amalan Nabi. Padahal masalah sholat subuh dengan berqunut itu pun juga
ada dasarnya. Tetapi kenapa dan ada apa dengan matrikulasi dengan sistematis
menghapus qunut dengan cara merekrut imam yang rata-rata tidak ada yang qunut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar