Kamis, 21 Januari 2016

CATATAN KECIL UNTUK MATRIKULASI


Pada dasarnya kami tidak ingin mempermasahkan perbedaan-perbedaan yang ada di matrikulasi kampus STEI Tazkia, sepanjang perbedaan itu tetap mengalir dingin tanpa harus menyalahkan pemahaman yang berbeda dengan keyakinan masing-masing.
Realita berbeda, di matrikulasi yang sering didengungkan, mahasiswa harus menerima perbedaan, tetapi saat sekelompok mahasiswa yang berbeda dengan pemahaman pihak matrikulasi yang ingin melakukan amalan dan acara, seperti membaca sholawat dibaiyah, maulid Nabi,  tidak ada ruang dan kesempatan untuk merealisasikan amalan dan acara tersebut, bahkan acap kali menyalahkan dan tidak mau menerima perbedaan. 

Lalu di manakah suara HARUS MENERIMA PERBEDAAN”??. kalau realitanya bertolak belakang dengan ungkapan diatas.  Tidak dipungkiri bahwa Mahasiswa Matrikulasi STEI Tazkia terdiri dari mahasiswa yang berbeda-beda pemahaman, berbeda dalam keyakinan, berbeda dalam bermanhaj dan bermadzhab. Mahasiswa ada yang Alumni pesantren yang bermadzhab Imam Syafii yang dalam praktik sholat subuhnya berqunut, ada yang jebolan sekolah umum dan sebagainya.             

Tulisan ini tidak ingin memperkeruh perbedaan, tetapi penulisan ini berangkat dari hati penulis ingin bertanya kemanakah “KEADILAN HIDUP BERGANDENGAN TANGAN DIATAS PERBEDAAN MASING-MASING yang harus dibangun oleh pihak matrikulasi?. Menurut data yang penulis himpun dari sebagian mahasiswa yang sedang megadakan pembacaan sholawat, ada salah satu Pembina matrikulasi yang secara langsung menolak adanya pembacaan sholawat di matrikulasi dengan berbagai alasan. Padahal tentang pembacaan sholawat terlepas dari perbedaan adalah merupakan bacaan yang dianjurkan. Dan pembacaan sholawat apa pun bentuk bacaannya ada dalilnya. Tetapi di sini penulis tidak ingin panjang lebar membahas tentang boleh dan tidak bolehnya membaca sholawat, semacam dibaiyah dan sejenisnya. Melainkan titik pembahasan di sini adalah intoleransi perbedaan dalam pemahaman yang ada di matrikulasi. Wajar kalau pihak yang tidak pro atas adanya pembacaan sholawat dibaiyah menolak dengan beragam alasan. Tetapi perlu di ketahui bahwa tidak semua mahasiswa yang ada di matrikulasi kontra pembacaan sholawat dibaiyah. Bukankah alangkah bagusnya kalau pihak matrikulasi menerima perbedaan tanpa harus mencegah amalaiyah-amaliyah yang tidak sepaham dengannya. Toh pada dasarnya praktik yang dilakukan mahasiswa juga ada dasarnya. 

Bayangkan kalau di matrikulasi memaksakan mahasiswa harus berjalan dalam manhaj yang sealur dengan pihak ketua matrikulasi, mau tidak mau mahasiswa telah didoktrin dan dipaksakan dengan mengikuti pemahaman yang sebelumnya berbeda dengannya. Bukankah ini merupakan pemaksaan?. Sangat disayangkan, ada keluhan pengasuh pesantern salaf, menuturkan bahwa santrinya melaporkan kepadanya, bahwa ternyata dimatrikulasi tidak ada qunut saat sholat subuh. Spontan pengasuh tersebut merasa menyesal dan iba kenapa matrikulasi tazkia tidak bisa bertoleransi, minimal diimbangi antara adanya sholat subuh pakai qunut dan yang tidak. Tetapi realitanya berbeda, di matrikulasi tidak ada seorang imam pun yang qunut saat sholat subuh. Bukti ini penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan pihak mahasiswa yang menjadi saksi dan penulis berani membuktikannya. 

Maka secara tidak langsung, saat sholat subuh tidak ada qunut, maka yang terlintas dalam benak pikiran mahasiswa qunut dalam subuh berarti bukan amalan Nabi. Padahal masalah sholat subuh dengan berqunut itu pun juga ada dasarnya. Tetapi kenapa dan ada apa dengan matrikulasi dengan sistematis menghapus qunut dengan cara merekrut imam yang rata-rata tidak ada yang qunut. 

Tidak ada komentar:

PALING PUPULER

KONSEP BERBANGSA DAN BERNEGARA SYEKH MUSTAFA AL-GHALAYAINI

Perihal bengsa sama dengan perihal individu bangsa itu sendiri. Tatkala individu bangsa, setiap satu persatu orang-orannya itu m...