Tak sedikit manusia itu terjebak
atas nama kebaikan dan perbaikan kebijakan, namn caranya tak baik,
akhirnya bukan kebaikan yang terlihat tapi kebalikannya. Hal demikian
karena tak mampu mengimplementasikan arti dan nilai-nilai kebaikan akan
setiap kebijakan, apapun bentuk kebijakan tersebut, baik kebijakan level
pemerintah hingga level lapisan akar rumput.
Coba kalau saling meluangkan waktunya untuk saling berpikir dan mencari
solusi terbaik dan jangan sampai kemudian ada tindakan anarkis,
merobohkan atau menghancurkan barang-barang penjual yang merupakan
bagian masyarakat yang ingin mencari rezeki dan ketahanan hidup dengan
berjualan jalan kaki, dorong grobak dan semacamnya. Kadang memosisikan
diri sebagai orang lain itu sangat penting, agar merasakan pahitnya apa
yang dirasakan orang lain. Apalagi masih banyak solusi yang tak harus
dengan mengorbankan masyarakat.
Di sinilah pentingnya mengawinkan kebaikan dengan cara yang baik. Sama juga dalam dunia berdakwah. Berdakwah itu baik, tapi manakal dakwah tak disertai dengan strategi/cara dan metode yang baik juga tidak akan mengenai sasaran. Karenanya, Wali Songo dalam mendakwahkan ajaran Islam di bumi Nusantara ini lentur dengan budaya dan dengan dengannya Islam dapat diterima oleh penduduk Nusantara hingga terjadilah islamisasi budaya.
Betapa agungnya ajaran Islam, dalam konsep bertetangga saja, Islam menghormati hak-hak bertetangga. Ini menjadi bukti dalam bermasyarakat tidak cukup hanya berbekal semboyan "yang penting baik" tapi juga dalam bermasyarakat musti harus sadar apakah kebaikan itu tak mengganggu orang lain. Contoh riilnya, mengaji pakek speaker malam hari itu baik, namun saat ada orang yang sedang sakit, orang mau istirahat tidur malam kalau merasa terganggu, lebih baik mengaji tanpa speaker, sebab subtansinya bukan ada di alat pengeras suara, tapi dibacaan, qiraah. Beda halnya kalau tak merasa terganggu dan sudah menjadi budaya yang telah disepakati dan maklum.
Dari sinilah, kebaikan perlu dilestarikan dengan cara baik pula. Masih ingatkah di saat Raden Syahid mengambil makanan pokok yang disimpen oleh pihak kerajaan yang diberikan pada rakyat, dalam pandangan guru spiritualnya, Sunan Bonong bahwa tindakan Raden Syahid diibaratkan mencuci pakaian dengan air kencing.
Wallahu a'lam.
Di sinilah pentingnya mengawinkan kebaikan dengan cara yang baik. Sama juga dalam dunia berdakwah. Berdakwah itu baik, tapi manakal dakwah tak disertai dengan strategi/cara dan metode yang baik juga tidak akan mengenai sasaran. Karenanya, Wali Songo dalam mendakwahkan ajaran Islam di bumi Nusantara ini lentur dengan budaya dan dengan dengannya Islam dapat diterima oleh penduduk Nusantara hingga terjadilah islamisasi budaya.
Betapa agungnya ajaran Islam, dalam konsep bertetangga saja, Islam menghormati hak-hak bertetangga. Ini menjadi bukti dalam bermasyarakat tidak cukup hanya berbekal semboyan "yang penting baik" tapi juga dalam bermasyarakat musti harus sadar apakah kebaikan itu tak mengganggu orang lain. Contoh riilnya, mengaji pakek speaker malam hari itu baik, namun saat ada orang yang sedang sakit, orang mau istirahat tidur malam kalau merasa terganggu, lebih baik mengaji tanpa speaker, sebab subtansinya bukan ada di alat pengeras suara, tapi dibacaan, qiraah. Beda halnya kalau tak merasa terganggu dan sudah menjadi budaya yang telah disepakati dan maklum.
Dari sinilah, kebaikan perlu dilestarikan dengan cara baik pula. Masih ingatkah di saat Raden Syahid mengambil makanan pokok yang disimpen oleh pihak kerajaan yang diberikan pada rakyat, dalam pandangan guru spiritualnya, Sunan Bonong bahwa tindakan Raden Syahid diibaratkan mencuci pakaian dengan air kencing.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar