Oleh Ahmad Shonhaji
Belajar merupakan aktivitas yang membosankan jika tidak memberikan
hasil yang positif buat bekal masa depan kita; tidak menambahkan wawasan kita,
tidak memotori langkah kita atau perubahan positif lainnya.
Tentunya, kita akan bertanya-tanya penyebab dari semua itu.
lebih-lebih jika kita merasa bagian dari orang
yang intens dalam belajar. Aku sendiri sering mengeluhkan hal itu kepada
diriku sendiri atau teman-temanku, tapi mereka justru mengeluhkan hal yang sama.
Aneh kan?
Jika faktanya seperti itu, apa yang mesti kita lakukan? Mengubah
metode belajar kita? Metode seperti apa? Dan Metode siapa?.
Orang-orang memang banyak menawarkan metode mengenai cara belajar
yang efektif, mulai dari hasil pengalaman pribadi atau hasil reset mereka.
Namun, kali ini aku hendak menawarkan kepada para pembaca metode belajar ala
salafus shaleh. Mungkin, kalian bisa menerapkannya, terkhusus aku sendiri,
karena selama ini aku merasa belum menerapkan hal itu.
Pertama, prioritaskan
pemahaman. Dalam belajar kualitas harus menjadi prioritas, bukan kuantitas.
Pembaca yang memprioritaskan kuantitas, ibarat mengambil air sungai dengan
menggunakan tangan, sambil merenggangkan jari-jari. Tangan, serta jari-jari dia
hanya akan basah. Namun, dia tidak akan menghasilkan air.
Tradisi memprioritaskan kuantitas ini, menurut sahabat Mu’adz
merupakan tradisi orang-orang bodoh, bukan orang pintar, karena orang pintar,
menurutnya akan lebih memprioritaskan pemahaman atau kualitas yang aku maksud tadi.
“al-Ibrah bi al-kaifyah la bi al-kammiyah”.
Sebagian pakar hadis juga menganjurkan para pencari hadis agar
tidak hanya memprioritaskan riwayat, tapi juga pemahaman hadis. Bahkan,
Jalaluddin as-Suyuti mencukupkan diri dengan sekitar seratus guru, karena
menurut dia, pemahaman lebih penting daripada sekedar meriwayatkan.
Kedua, hindari menghabiskan buku dalam satu majlis.
Belajar membutuhkan proses, tapi perlu ditarget. Karena itu, hindari
menghabiskan buku sekaligus dalam satu majlis. “Seorang yang membaca buku
sekaligus, akan hilangg sekaligus”. Dulu para sahabat hanya belajar sepuluh
ayat kepada Rasulullah. Mereka tidak akan menambah sepuluh ayat lagi kecuali
setelah memahami semua kandungannya. seperti Umar bin Khattab ra. misalnya. Dia
mempelajari surat al-Baqarah selama 12 tahun.
Putranya juga mempelajari surat yang sama selama 8 tahun. Tentunya,
karena otak kita butuh refres, biar bisa lebih mencerna bacaan.
Ketiga,
mengaplikasikan bacaan pada realitas. Mengamalkan apa yang telah kita pahami
adalah salahsatu metode pelakat suatu ilmu. Seorang yang hanya membaca, tanpa
mengaplikasikan bacaan, tidak akan bisa mempertahankan pemahamannya, seperti
pamphlet yang dipajang pada papan pengumuman dengan pelekat, suatu saat akan
jatuh. Bacaan, serta pemahaman, butuh untuk dirawat. Merawatnya dapat dilakukan
dengan cara didiskusikan dengan orang lain, diamalkan, kemudian diaplikasikan
pada realitas kehidupan manusia. “Al-ilmu bila ‘amal ka as-syajar bila
tsimar”.
Dalam tulisan ini, aku tidak bermaksud menggurui. Aku hanya mau
berbagi bacaan, bukan pengalaman dengan kalian di pagi ini. Semuga pagi ini
menjadi pagi yang berkah buat aku dan kalian. Dan semuga hidup kita menjadi
lebih baik ke depannya. Wallahu a’lam bi as-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar