Ustadz Rohmatullah Adny Asymuni yang kami hormati, Pak Ustadz kami mau nanya’, saya meminta pada kontraktor
(tukang bangun rumah) untuk dibuatin rumah dan saya tidak langsung membayar
dia, melainkan saya akan membayar diakhir kalau rumah yang dibangun sudah
selesai. Bagaimana hukum kejadian dia atas menurut Islam? Terimakasih atas
jawabannya Ustadz.
Waalaikum salam warahmatullah
wabarakatuh
Bapak Zidny yang dirahmati Allah,
dalam kasus yang bapak alami diatas pada masa sekarang memang tidak bisa
menjauh untuk melakukan akad yang bapak tanyakan diatas. Realitanya yang namanya manusia pasti butuh
tempat tinggal (rumah) baik rumah tinggal itu sudah ada atau rumah tinggal yang
masih dalam pembangunan guna kenyamanan dan kelayakan hidup.
Kata ulama dalam kasus diatas dikatagorikan
akad istishna’. Definisi istishna’ adalah suatu kontrak jual beli antara
pembeli (mustashni’) dan penjual (shoni’) di mana pembeli memesan barang
(mashnu’) dengan kriteria yang jelas dan harganya dapat diserahkan secara
bertahap.
Menyikapi akad ishtishna’ yang
terjadi pada masyarakat, Ulama fiqh masih berbeda pendapat. Madzhab Syafii
mengklaim ishtishna’ bila sesuai dengan syarat-syarat yang ada pada akad salam
(pesanan) dalam artian adanya ra’sul maal (uang muka) diserahkan pada saat
terjadinya pemesanan (majlis akad) maka hukumnya boleh, tapi jikalau uang
mukanya tidak diserahkan pada saat terjadinya akad, maka hukumnya tidak boleh.
Al-Qur’an memperkuat kebolehan akad salam dalam (surah Al-Baqarah 282 )yang
berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya. Dan diperkuat hadist yang diriwayatkan oleh
Abdillah bin Abbas Rasulullah mengatakan: barang siapa yang memesan maka
memesanlah dalam takaran yang diketahui (maklum) dan timbangan yang jelas
sampai pada tempo yang diketahui.
Madzhab Hanafi memperbolehkan
akad ishtishna’ yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat dan memang keberadaan
akad ishtisna’ didasarkan atas kebutuhan Masyarakat. Sehingga ulama madzhab
syafii pun berpandangan, “tidak ada larangn untuk mengikuti madzhab hanafi yang
menghukumi boleh atas akad istishna’ dengan alasan meringankan pada masyarakat,
kebutuhan yang mendesak, dan sudah mengakar di masyarakat”. Para Ulama dan
fuqaha memegang manhaj kemaslahatan pada umat sesuai apa yang diridhoi Allah
dan Rasulullah SAW.
Dari sini bapak Zidny bisa
mengambil pendapatnya madzhab hanafi yang memperbolehkan akad istishna’ yang
notabenenya akan selalu hadir dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat
karena kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Wallahu a’lam bis-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar