Rohmatullah
Adny Asymuni*
Dalam menjalankan roda aktifitas perekonomian yang
tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia tentunya butuh disiplin ilmu
ekonomi yang sesuai dengan apa yang telah digariskan syariah, agar bisa
mengikuti alur yang dikonsepkan syariah itu sendiri serta terhindar dari
praktik-praktik yang diharamkan.
Islam
sangat melarang dan mengecam siapa saja melakukan aktifitas merugikan diri
sendiri, merugikan orang lain, melakukan kedzaliman, kecurangan dan ketidak-adilan.
” La dlarara wa la dlirara“ jangan sampai melakukan
kemudaratan pada diri sendiri dan kemudaratan pada orang lain, begitulah
penegasan Rasulullah pada umatnya.
Tidak
jarang dalam memotori perekonomian dan bisnis kita dapati praktik-praktik yang
tidak sesuai dengan konsep hukum syariah, menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan margin lebih tanpa memandang benarkah praktik yang ia tempuh sesuai
dengan konsep syariah. Oleh sebab itu, untuk menghindari diri dari aktifitas yang terlarang, sangat urgen mengetahui disiplin ilmu yang terkait
dengan bisnis dan perekonomian yang dapat direalisasikan dan diaplikasikan
secara nyata, khususnya ilmu (teori) akan haramnya riba.
Berbisnis disetiap aspeknya wajib tahu apa-apa yang halal
dan yang haram, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, agar apa yang diperoleh
dari hasil berbisnis menjadi barang
halal dan berkah. Sebab sejatinya bisnis adalah ibadah dan jihad mencari yang
halal bukan hanya mengumpulkan harta semata
dengan cara ilegal dari syariah. Hal yang harus diperhatikan adalah praktik bunga
riba yang kerap terjadi di dunia perekonomian. Oleh karena akan penulis
jelaskan definisi riba dan dampak dalam perekonomian.
SEPUTAR DEFINISI RIBA
Dalam
muqtathofat min jaami’ al-ahkam karya Imam al-Qurtubi disebutkan, secara
bahasa riba bermakna tambahan (ziyadah) secara mutlak. Dalam pengertian lain
secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Imam Ar-Rozy mengatakan riba
adalah pengambilan harta orang lain tanpa adanya padanan atau imbalan
(pengganti). Contohnya penjual menjual satu dirham dengan dua dirham baik
secara tunai atau ditangguhkan pembayarannya (mu’ajjal). Padahal harta
seseorang merupakan kehormatan besar atau haram untuk diambil oleh orang lain.
Rasulullah Saw menegaskan pada umatnya tentang hakikat harta yang dimiliki
pemiliknya sebagaimana sabda beliau: بِحَسْبِ إمْرِئٍ
مِنَ الشَّرِّ أنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى
المُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Cukup seorang dianggap jelek
adalah meremehkan saudaranya yang muslim, setiap muslim atas muslim lainnya
adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya. HR Muslim.
Namun,
tidak semua tambahan pokok itu tergolong riba. Sebagai contoh, dalam hadits
riwayat Muslim, dari Abu Rafi’ , dikisahkan bahwa “Rasulullah SAW
meminjam unta yang berumur tiga tahun kepada seseorang. Lalu datang unta-unta
sedekah kepada beliau. Beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk menyelesaikan unta
pinjaman itu. Tapi Abu Rafi’ kembali dan berkata , “saya tidak mendapatkan di
antara unta-unta sedekah itu kecuali yang sudah berumur enam tahun”. Beliau
bersabda, “berikan saja kepadanya , karena sebaik-baiknya manusia ialah yang
paling baik penyelesaian di antara mereka.
Dibuku
karya Ustadz Muhmmad Syafi’i Antonio dijelaskan, “Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam-meminjam secara batil atau bertantangan dengan prinsip muamalah dalam
islam”. Mengenal hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya,
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ اَمَنُوْ لَاتَأْكُلُواْ اَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman ,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (an-Nisaa’:
29)
Dalam Almuqtathaf
kanzul Al-Daqaiq, karya Syaikh Zainuddin bin Najim Al-Hanafi, dari golongan
madzhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai berikut:
اَلرِّبَا
فَضْلُ مَاٍل بِلاَعِوَضٍ فِي مُعَاوَضَةِ مَالٍ بِمَالٍ"
Jadi tambahan harta, uang atau
sejenisnya tanpa ada iwad (atau padanan) yang terjadi saat penukaran
harta dengan harta yang lain adalah riba.
Ulama telah sepakat bahwa riba
berkisar pada kelompok (bagian) enam yang telah dijelaskan dalam hadist
berikut: الّذهَبُ بِالذَّهَبِ وَاْلِفضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِاْلبُرِّ وَالَّشعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ
وَالَّتمرُبِالَّتمَرِ وَاْلمِلْحُ بِالْمِلْحِ مَثَلًا بِمَثَلٍ يَدًا ِبَيدٍ
فَمَنْ زَادَ اَو اسْتَزَادَ فَقَدْ اَرْبَى, اَلْاَخِدُ وَالْمُعْطِى فِيْهِ
سَوَاءٌ. رواه البخاري
Mas dijual dengan mas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, gandum syaiir dengan gandum syaiir, kurma
dengan kurma, dan garam dengan garam harus sama ukurannya (matsalan bi
matsalin) dan harus kontan (yadan bi yadin) maka barang siapa yang menambah ukuran
atau meminta tambahan berarti telah melakukan riba, yang mengambil atau yang
memberi riba adalah sama. HR al-Bukhori.
Para
Ulama telah sepakat bahwa A’yan/barang-barang al-Manshus/
yang di nash hukum keharamannya karena terdapat unsur riba ada tujuh : (1)
al-Dzahab (mas). (2)al- Fidhah (perak). (3) al-Burr (biji gandum). (4)
al-Sya’iir ( biji gandum). (5) Al-tamr (kurma). (6) al-Zabiib (anggur). (7)
al-Milh (garam). Dalam buku al-Mizanul Kubra al-Sya;raniyah karya
Syaikh Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad al-Syafii atau yang terkenal
dengan julukan al-Sya’rani mengatakan; menurut konsensus Ulama tidak boleh
menjual mas dengan mas, uang dengan uang kecuali kualitas isi/ nominalnya atau
ukurannya sama, dan dilakukan secara tunai (yadan bi yadin). Sebagaiman tidak
boleh transaksi menjual gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam
dengan garam kecuali bila jumlah dan kadarnya sama, dan barang tersebut ketika
terjadinya akad harus secara tunai tidak boleh dijatuh tempo atau ditangguhkan
pembayarannya.
MACAM-MACAM
RIBA
Dr Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul “BANK SYARIAH DARI TEORI
ke PRAKTIK” menjelaskan bahwa riba dikelompokkan menjadi dua bagian.
Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama (
riba utang-piutang) terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah.
Sedangkan kelompok kedua (riba jual-beli) terbagi menjadi riba fadhl dan riba
nasiah.
1.Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyariatkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
2. Riba
Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya
karena pihak peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan
3. Riba
Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba
Nasi’ah
Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dan diserahkan
kemudian.
DAMPAK
NEGATIF RIBA.
Imam
al-Rozy dalam tafsirnya menuturkan beberapa
hikmah pengharaman riba sebagai berikut:
a.
Riba -dalam perspektif perekonomian dan sosialisasi- mendorong pelaku riba
malas-malasaan untuk berusaha dan bekerja untuk kebutuahan hidupnya
sehari-hari, karena pada kenyataannya bagi pelaku riba di saat mendapatkan uang
riba, mereka malas-malasan mencari maisyah (kebutuhan hidup), tidak mau
capek-capek bekerja, berdagang, dan berproduksi. Ia hanya ingin duduk manis di
halaman rumahnya menunggu datangnya uang riba. Hal ini akan menyebabkan pelaku
riba enggan bebuat dan member manfaat (bersosialisasi) di antara sesama.
b.
Riba –dalam perspektif etika- menyebabkan terputusnya amal ma’ruf, berupa
memberi utang pada sesama. Seandainya riba diperbolehkan maka seorang yang
butuh, akan memaksakan diri untuk mengambil riba yang pada ujungnya akan
menyebabkan lenyapnya persaudaraan, berbuat kebaikan, dan ihsan pada sesama.
c.
Riba –dalam perspektif kemanusian- kebanyakan orang yang memberi utang, mereka adalah
golongan orang-orang mampu (kaya) dan penerima utang mereka orang-orang yang
faqir. Kalau riba diperbolehkan niscaya orang-orang kaya akan mengambil lebih
dari piutang (harta) yang mereka pinjamkan pada orang-orang faqir yang lemah
dan tidak mampu.
Ala
kulli hal semoga kita semua dibersihkan dari kotoran riba yang menjadi penyakit
dalam berbisnis. Dan usahakanlah dalam bisnis kita bersih dari praktik riba yang
diharamkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar