Kamis, 14 November 2013

Riba dalam Perspektif Ekonomi, Etika dan Kemanusian

Rohmatullah Adny Asymuni*
             Dalam menjalankan roda aktifitas perekonomian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia tentunya butuh disiplin ilmu ekonomi yang sesuai dengan apa yang telah digariskan syariah, agar bisa mengikuti alur yang dikonsepkan syariah itu sendiri serta terhindar dari praktik-praktik yang diharamkan.

            Islam sangat melarang dan mengecam siapa saja melakukan aktifitas merugikan diri sendiri, merugikan orang lain, melakukan kedzaliman, kecurangan dan ketidak-adilan. ” La dlarara wa la dlirara“  jangan sampai melakukan kemudaratan pada diri sendiri dan kemudaratan pada orang lain, begitulah penegasan Rasulullah pada umatnya.
            Tidak jarang dalam memotori perekonomian dan bisnis kita dapati praktik-praktik yang tidak sesuai dengan konsep hukum syariah, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan margin lebih tanpa memandang benarkah praktik yang ia tempuh sesuai dengan konsep syariah. Oleh sebab itu, untuk menghindari  diri dari aktifitas yang  terlarang, sangat  urgen mengetahui disiplin ilmu yang terkait dengan bisnis dan perekonomian yang dapat direalisasikan dan diaplikasikan secara nyata, khususnya ilmu (teori) akan haramnya riba.
            Berbisnis disetiap aspeknya wajib tahu apa-apa yang halal dan yang haram, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, agar apa yang diperoleh dari hasil berbisnis menjadi  barang halal dan berkah. Sebab sejatinya bisnis adalah ibadah dan jihad mencari yang halal bukan hanya  mengumpulkan harta semata dengan cara ilegal dari syariah. Hal  yang harus diperhatikan adalah praktik bunga riba yang kerap terjadi di dunia perekonomian. Oleh karena akan penulis jelaskan definisi riba dan dampak dalam perekonomian.
           
             SEPUTAR DEFINISI RIBA 
            Dalam muqtathofat min jaami’ al-ahkam karya Imam al-Qurtubi disebutkan, secara bahasa riba bermakna tambahan (ziyadah) secara mutlak. Dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba  berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Imam Ar-Rozy mengatakan riba adalah pengambilan harta orang lain tanpa adanya padanan atau imbalan (pengganti). Contohnya penjual menjual satu dirham dengan dua dirham baik secara tunai atau ditangguhkan pembayarannya (mu’ajjal). Padahal harta seseorang merupakan kehormatan besar atau haram untuk diambil oleh orang lain. Rasulullah Saw menegaskan pada umatnya tentang hakikat harta yang dimiliki pemiliknya sebagaimana sabda beliau: بِحَسْبِ إمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Cukup seorang dianggap jelek adalah meremehkan saudaranya yang muslim, setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya. HR Muslim.

            Namun, tidak semua tambahan pokok itu tergolong riba. Sebagai contoh, dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Rafi’ , dikisahkan bahwa “Rasulullah SAW meminjam unta yang berumur tiga tahun kepada seseorang. Lalu datang unta-unta sedekah kepada beliau. Beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk menyelesaikan unta pinjaman itu. Tapi Abu Rafi’ kembali dan berkata , “saya tidak mendapatkan di antara unta-unta sedekah itu kecuali yang sudah berumur enam tahun”. Beliau bersabda, “berikan saja kepadanya , karena sebaik-baiknya manusia ialah yang paling baik penyelesaian di antara mereka.
            Dibuku karya Ustadz Muhmmad Syafi’i Antonio dijelaskan, “Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun  pinjam-meminjam secara batil atau bertantangan dengan prinsip muamalah dalam islam”. Mengenal hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya,
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْ لَاتَأْكُلُواْ اَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (an-Nisaa’: 29)
 Dalam Almuqtathaf kanzul Al-Daqaiq, karya Syaikh Zainuddin bin Najim Al-Hanafi, dari golongan madzhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai berikut:
 اَلرِّبَا فَضْلُ مَاٍل بِلاَعِوَضٍ فِي مُعَاوَضَةِ مَالٍ بِمَالٍ" 
Jadi tambahan harta, uang atau sejenisnya tanpa ada iwad (atau padanan)  yang terjadi saat penukaran harta dengan harta yang lain adalah riba.
Ulama telah sepakat bahwa riba berkisar pada kelompok (bagian) enam yang telah dijelaskan dalam hadist berikut: الّذهَبُ بِالذَّهَبِ وَاْلِفضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِاْلبُرِّ وَالَّشعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالَّتمرُبِالَّتمَرِ وَاْلمِلْحُ بِالْمِلْحِ مَثَلًا بِمَثَلٍ يَدًا ِبَيدٍ فَمَنْ زَادَ اَو اسْتَزَادَ فَقَدْ اَرْبَى, اَلْاَخِدُ وَالْمُعْطِى فِيْهِ سَوَاءٌ. رواه البخاري  
Mas dijual dengan mas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, gandum syaiir dengan gandum syaiir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus sama ukurannya (matsalan bi matsalin) dan harus kontan (yadan bi yadin) maka barang siapa yang menambah ukuran atau meminta tambahan berarti telah melakukan riba, yang mengambil atau yang memberi riba adalah sama. HR al-Bukhori.
            Para Ulama telah sepakat bahwa A’yan/barang-barang al-Manshus/ yang di nash hukum keharamannya karena terdapat unsur riba ada tujuh : (1) al-Dzahab (mas). (2)al- Fidhah (perak). (3) al-Burr (biji gandum). (4) al-Sya’iir ( biji gandum). (5) Al-tamr (kurma). (6) al-Zabiib (anggur). (7) al-Milh (garam). Dalam buku al-Mizanul Kubra al-Sya;raniyah karya Syaikh Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad al-Syafii atau yang terkenal dengan julukan al-Sya’rani mengatakan; menurut konsensus Ulama tidak boleh menjual mas dengan mas, uang dengan uang kecuali kualitas isi/ nominalnya atau ukurannya sama, dan dilakukan secara tunai (yadan bi yadin). Sebagaiman tidak boleh transaksi menjual gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam kecuali bila jumlah dan kadarnya sama, dan barang tersebut ketika terjadinya akad harus secara tunai tidak boleh dijatuh tempo atau ditangguhkan pembayarannya.

            MACAM-MACAM RIBA
            Dr Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul “BANK SYARIAH DARI TEORI ke PRAKTIK” menjelaskan bahwa riba dikelompokkan menjadi dua bagian. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama ( riba utang-piutang) terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua (riba jual-beli) terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.
 1.Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyariatkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
    2.  Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena pihak peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan
    3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
    4.  Riba Nasi’ah   
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dan diserahkan kemudian.

DAMPAK NEGATIF RIBA.  
 Imam al-Rozy dalam tafsirnya  menuturkan beberapa hikmah pengharaman riba sebagai berikut:
            a. Riba -dalam perspektif perekonomian dan sosialisasi- mendorong pelaku riba malas-malasaan untuk berusaha dan bekerja untuk kebutuahan hidupnya sehari-hari, karena pada kenyataannya bagi pelaku riba di saat mendapatkan uang riba, mereka malas-malasan mencari maisyah (kebutuhan hidup), tidak mau capek-capek bekerja, berdagang, dan berproduksi. Ia hanya ingin duduk manis di halaman rumahnya menunggu datangnya uang riba. Hal ini akan menyebabkan pelaku riba enggan bebuat dan member manfaat (bersosialisasi) di antara sesama.
            b. Riba –dalam perspektif etika- menyebabkan terputusnya amal ma’ruf, berupa memberi utang pada sesama. Seandainya riba diperbolehkan maka seorang yang butuh, akan memaksakan diri untuk mengambil riba yang pada ujungnya akan menyebabkan lenyapnya persaudaraan, berbuat kebaikan, dan ihsan pada sesama.
            c. Riba –dalam perspektif kemanusian- kebanyakan orang yang memberi utang, mereka adalah golongan orang-orang mampu (kaya) dan penerima utang mereka orang-orang yang faqir. Kalau riba diperbolehkan niscaya orang-orang kaya akan mengambil lebih dari piutang (harta) yang mereka pinjamkan pada orang-orang faqir yang lemah dan tidak mampu.
            Ala kulli hal semoga kita semua dibersihkan dari kotoran riba yang menjadi penyakit dalam berbisnis. Dan usahakanlah dalam bisnis kita bersih dari praktik riba yang diharamkan


Tidak ada komentar:

PALING PUPULER

KONSEP BERBANGSA DAN BERNEGARA SYEKH MUSTAFA AL-GHALAYAINI

Perihal bengsa sama dengan perihal individu bangsa itu sendiri. Tatkala individu bangsa, setiap satu persatu orang-orannya itu m...