Di JAWA TIMUR, khususnya di Bangkalan, mulai sejak kecil hingga
aku kelas enam Ibtidaiyah dan SD belum aku rasakan perbedaan dan perselisihan
tentang kesunahan puasa Rajab. Mungkin karena memang, di Bangkalan khususnya,
masih kuat penduduknya memegang teguh dan mengikuti pendapat mayoritas ulama
Syafiiyah yang menghukumi sunah terhadap puasa Rajab.
Di Pasuruan pun, saat aku menimba ilmu di Salah satu Pesantren
yang tertua di Nusantara yang didirikan oleh Mbah Sayyid Sulaiman Basyaiban yang
masih keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon, yaitu Pondok Pesantren Sidogiri yang
kini sudah berumur 278 Tahun, semua santri lebih memilih puasa rajab, bahkan
dianjurkan untuk puasa rajab, tak ada sama sekali perbedaan. Sebab santri
memiliki argumentasi dan dalil yang sama tentang hukum kesunahan puasa Rajab. Tidak ada yang berbeda. Sebab santri sudah biasa bersinggungan langsung dengan namanya dalil. Lewat
berbagai literatur yang dikaji, mulai kitab mustholah hadis (kitab ini memuat
untuk mengetahui status hadis dari aspek keshohihan, rawi dll), tafsir, ushul
fiqih, apalagi Al-Qur'an dan Hadis, di setiap hari santri tidak pernah lepas
dari Al-Qur'an, Santri meneliti dan mengkaji secara langsung mana dalil yang
kuat dan yang lemah. Hingga tidak heran kalau dikalangan santri puasa rajab
bukanlah amalan bid'ah yang oleh sekelompok golongan dianggap bid'ah dengan
alasan hadisnya lemah (dhaif). Padahal kalau mereka mau jujur, banyak hadis
yang shohih tentang hukum kesunahan puasa rajab, namun kenapa mereka tidak
mencantumkan hadis shohih tersebut?. Ada apa dengan mereka?.
Baru setelah aku masuk di perguruan tinggi, sangat kerasa
perbedaan yang sangat mencolok tentang hukum kesunahan puasa Rajab. Mulai
perbedaan Tahlilan, Yasinan, Maulidan, Isra'-mi'raj, Puasa Sya'ban pasti tidak
pernah habis menjadi trending topic dikalangan Mahasiswa. Tetapi sayangnya,
tidak semua Mahasiwa merujuk langsung terhadap pembahasan tersebut, mereka
hanya bertendensi kepada apa yang mereka dapati tanpa mengakji mendalam tentang
perbedaan tersebut. Padahal seandainya mereka mau jujur dalam berilmiah betapa
banayk hadis-hadis yang shohih, tetapi anehnya kenapa mereka hanya mengkritisi hadis yang lemah, kenapa tidak menerima hadis lain yang shohih dalam membahas
hukum kesunahan puasa Rajab.
Terakhir dari penulis, jujur dan objektiflah di dalam
berargumentasi, jangan sembarngan bilang bid'ah tanpa mengetahui adanya dalil lain
yang memperbolehkan. Kasihan umat islam yang awam seperti penulis kalian
bid'ahkan. Ketika umat Islam dibid'ahkan, betapa banyak yang tersesat dalam
perspektif kalian, maka betapa banyak umat Islam yang secara otomatis masuk
neraka, karena setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu dalam neraka.
Ayo saling menghargai perbedaan, bangun hidup romantis dan harmonis
seperti tak ubahnya kekasih yang saling mencintai. Sebab Rajab bukanlah ajang permusuhan sesama Muslimnya, meski berbeda pendapat. Akan lebih baik hidup damai dalam perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar