Berbicara
Pesantren tak ubahnya berbicara islam itu sendiri. Sebab Pesantrenlah yang
lebih memfokukan diri menanam nilai-nilai keIslamanan yang Rahmatan Lil
‘Alamiin,ementingkan kecerdasaan moralitas, spritualitas, dan intelektual
santri dan masyarakat. Tidak diragukan lagi dari bilik-bilik Pesantren lahirlah
para Tokoh-Tokoh yang sangat berpengaruh dan berkontribusi atas kemerdekaan Indonesia
dan kemajuan Bangsa. KH Hasyim Asy’ari, Pendiri NU (Nahdhatul Ulama), KH Wahab
Hasbullah, KH Nawawi bin Noer Hasan Sidogiri dan Kiai-kiai lain di Nusantara
ini adalah sebagian contoh kecil dari Tokoh-Tokoh yang berperan dalam memajukan
Indonesia menjadi Bangsa yang Islami, cerdas, dan berpendidikan.
Di mana ada
pesantren di situlah ada Kiai (Pengasuh) dan Santri yang kontinu dalam
berinteraksi mengajar, mengaji dan mengkaji disiplin ilmu keagamaan. Namun dalam pandangan Masyarakat, Pesantren yang
dulunya dikenal kekentalannya dengan ilmu keagamaan yang melahirkan para
intelektual-intelektual generasi penerus estafet Kiai yang berhaluan paham
Ahlus Sunnah Waljama’ah, kini mulai melahirkan santri yang berpikiran liberal
dan sekuler.
Penilain diatas
tidaklah sepenuh salah, karena memang seperti yang disinggung dalam buku
Liberalisasi Islam Di Pesantren, upaya libralisasi Islam di Indonesia bukanlah
ide yang digagas baru kemarin sore dan dilontarkan secara sporadis.
Liberalisasi Islam di Indonesia adalah upaya serius yang digagas sejak lama,
bahkan sejak periode penjajahan di negeri ini, dengan grand design yang matang,
direncanakan secara sistematis, plus pendanaan yang sangat memadai[1], dan
tidaklah sepenuhnya benar karena Pesantren menolak ajaran-ajaran yang bertolak belakang
dengan pemahaman Ahlus Sunnah Waljama’ah.
Kata liberal tidak
bisa digandeng mesra dengan embel-embel
Islam menjadi sebutan “Islam Liberal” sebab Islam tidak liberal, namun Islam
meski tidak liberal, bukan berarti menyampingkan akal. Dalam Islam akal hanya
menjadi srana dalam memahami wahyu Allah yang menjadi pedoman umat Islam bukan
malah menjadi referensi utama dalam menggali hukum agama. Menarik, apa yang
dikatakan Ustadz Turmudzi Said, salah seorang ustadz senior di PP Sidogiri
Pasuruan , “ Kalau songkok (peci) tidak pas di kepala, jangan kepalanya yang
dipotong, tapi songkoknya yang diganti.” Maksudnya sebagaimana dalam buku Islam
Indonesia Di Mata Santri, “Kalau akal tidak mampu mampu memahami maksud agama,
bukan agamanya yang harus menyesuaikan diri dengan dengan akal, tapi akal yang
harus menyesuaikan diri dengan agama. Bukan agama yang harus masuk akal, tapi
akal yang harus masuk agama[2].
Untuk mengetahui
apakah liberaliasi pemikiran Islam itu atau yang dikenal dengan sebutan “Islam
Liberal”? Liberalisasi Pemikiran Islam adalah suatu gerakan pemikiran yang
berasal dari paham liberalisme yang lahir dan berkembang di Barat, maka gerakan
ini dipengaruhi oleh cara berpikir manusia Barat sekuler. Di Barat, liberal
artinya bebas, bebas dari gereja, dari ikatan moral, dari agama serta dari
Tuhan. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran Islaam, kebebasan diartikan
sebagai bebas untuk menafsirkan agama sesuai dengan pemikiran masing-masing
orang. Akibatnya, hl-hal yang jelas haram hukumnya menjadi halal, yang wajib menjadi
sunnah dan seterusnya[3].
Secara sederhana
Dr Adian Husaini menguraikan, bahwa liberalisasi agama adalah suatu proses
menempatkan suatu agama kedalam proses dinamika sejarah. Artinya, dalam
liberalisasi agama, tidak ada agama yang selamat dari perubahan sejarah. Semua
agama harus tunduk pada perubahan dan dinamika sejarah[4].
Ketika liberalisasi masuk pada agama-agama, mau tidak mau agama harus tunduk
pada perubahan sejarah. Begitu juga saat liberalisasi masuk kepada agama Islam,
maka Islam harus tunduk pada perubahan sejarah.
Sebenarnya orang
mengetahui, bahwa jebeolan pesantren yang menjadi tokoh liberal, seperti Ulil
Absar Abdalla, Zuhairi Su'ud dls. Mereka menjadi liberal bukan karena didikan
Pesantrennya yang mengajarkan paham liberal, melainkan karena mereka setelah
keluar dari Pesantrennya melanjutkan studi pendidikan di perguran-perguruan
tinggi yang di dalamnya berinteraksi langsung dengan pemahaman-pemahaman yang
liberal. Maka yang diketahui oleh Masyarakat, bukan pesantren yang mencetak dan
memproduksi pemikiran-pemikiran liberal, melainkan pribadi-pribadi
masing-masing yang tergoda dengan rayuan virus liberal. Maka tidak sehat, bila
ada ungkapan, “Pesantren sarang kaum liberal”. Sebab cirri khas pesantren dari
dulu hingga kini masih berpegang teguh dengan paham-paham Ahlus Sunnah
waljama’ah. Penulis sangat tidak setuju bilamana ada yang bilang jebolan
pesantren kabanyakan liberal?. Sebab menjadi liberal bukan hanya orang-orang
pesantren saja, siapa pun, dari jebolan sekolah mana pun kalau bersinggungan
dengan pemikiran liberalisme tanpa menyaringnya maka tak menutup kemungkinan
sedikit demi sedikit akan tergoda dan terjangkit virus liberalisme.
Akhir kata, karena
kebanyakan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari ajaran Ahlus Sunnah
Waljama’ah muncul dari perguruan tinggi atau sekolah tinggi yang dosennya tidak
berpaham Ahlus Sunnah Waljama’ah, maka kaum santri yang hendak melanjutkan
studi belajarnya harus ekstra hati-hati, berpegang teguh pada ajaran paham-paham
Ahlus Sunnah Waljama’ah yang dipelajari di pesantrennya, dan tidak boleh
terjebak dan tergoda virus liberalism ini. Mestinya santri tidak boleh latah
terhadap liberalisme yang seakan-akan menarik, padahal berduri. Dan manakala dipandang tidak mampu mengontrol
dan menyaring paham yang menyimpang maka hendaknya mencari perguruan tinggi
yang masih kental dengan ajaran Ahlus Sunnah Waljama’ah. Ada baiknya kita
menengok apa yang diucapakan oleh ulama ushul fiqih, “Menolak lebih utama
ketimpang mengobati”.
[1]
Mohammad Achyat Ahmad, Liberalisasi Islam Di Pesantren, Pustaka Sidogiri,
Pasuruan (hal: 333)
[2]
Syamsu-l Arifyn Munawir, Islam Indonesia Di Mata santri , Pustaka Sidogiri,
Pasuruan (hal: 71).
[3]
Hamid Fahmy zarkasyi, MISKAT Refleksi Tentang Islam, Westernesasi &
Liberalisasi, Insis, Jakarta Selatan
(hal: 275).
[4]
Mohammad Achyat Ahmad, Liberalisasi Islam Di Pesantren, Pustaka Sidogiri,
Pasuruan (hal: 327).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar