Senin, 13 Juli 2015

PESANTREN BUKAN SARANG LIBERALISME


Berbicara Pesantren tak ubahnya berbicara islam itu sendiri. Sebab Pesantrenlah yang lebih memfokukan diri menanam nilai-nilai keIslamanan yang Rahmatan Lil ‘Alamiin,ementingkan kecerdasaan moralitas, spritualitas, dan intelektual santri dan masyarakat. Tidak diragukan lagi dari bilik-bilik Pesantren lahirlah para Tokoh-Tokoh yang sangat berpengaruh dan berkontribusi atas kemerdekaan Indonesia dan kemajuan Bangsa. KH Hasyim Asy’ari, Pendiri NU (Nahdhatul Ulama), KH Wahab Hasbullah, KH Nawawi bin Noer Hasan Sidogiri dan Kiai-kiai lain di Nusantara ini adalah sebagian contoh kecil dari Tokoh-Tokoh yang berperan dalam memajukan Indonesia menjadi Bangsa yang Islami, cerdas, dan berpendidikan.
Di mana ada pesantren di situlah ada Kiai (Pengasuh) dan Santri yang kontinu dalam berinteraksi mengajar, mengaji dan mengkaji disiplin ilmu keagamaan. Namun  dalam pandangan Masyarakat, Pesantren yang dulunya dikenal kekentalannya dengan ilmu keagamaan yang melahirkan para intelektual-intelektual generasi penerus estafet Kiai yang berhaluan paham Ahlus Sunnah Waljama’ah, kini mulai melahirkan santri yang berpikiran liberal dan sekuler.            

Penilain diatas tidaklah sepenuh salah, karena memang seperti yang disinggung dalam buku Liberalisasi Islam Di Pesantren, upaya libralisasi Islam di Indonesia bukanlah ide yang digagas baru kemarin sore dan dilontarkan secara sporadis. Liberalisasi Islam di Indonesia adalah upaya serius yang digagas sejak lama, bahkan sejak periode penjajahan di negeri ini, dengan grand design yang matang, direncanakan secara sistematis, plus pendanaan yang sangat memadai[1], dan tidaklah sepenuhnya benar karena Pesantren menolak ajaran-ajaran yang bertolak belakang dengan pemahaman Ahlus Sunnah Waljama’ah.            

Kata liberal tidak bisa digandeng mesra dengan  embel-embel Islam menjadi sebutan “Islam Liberal” sebab Islam tidak liberal, namun Islam meski tidak liberal, bukan berarti menyampingkan akal. Dalam Islam akal hanya menjadi srana dalam memahami wahyu Allah yang menjadi pedoman umat Islam bukan malah menjadi referensi utama dalam menggali hukum agama. Menarik, apa yang dikatakan Ustadz Turmudzi Said, salah seorang ustadz senior di PP Sidogiri Pasuruan , “ Kalau songkok (peci) tidak pas di kepala, jangan kepalanya yang dipotong, tapi songkoknya yang diganti.” Maksudnya sebagaimana dalam buku Islam Indonesia Di Mata Santri, “Kalau akal tidak mampu mampu memahami maksud agama, bukan agamanya yang harus menyesuaikan diri dengan dengan akal, tapi akal yang harus menyesuaikan diri dengan agama. Bukan agama yang harus masuk akal, tapi akal yang harus masuk agama[2].            
Untuk mengetahui apakah liberaliasi pemikiran Islam itu atau yang dikenal dengan sebutan “Islam Liberal”? Liberalisasi Pemikiran Islam adalah suatu gerakan pemikiran yang berasal dari paham liberalisme yang lahir dan berkembang di Barat, maka gerakan ini dipengaruhi oleh cara berpikir manusia Barat sekuler. Di Barat, liberal artinya bebas, bebas dari gereja, dari ikatan moral, dari agama serta dari Tuhan. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran Islaam, kebebasan diartikan sebagai bebas untuk menafsirkan agama sesuai dengan pemikiran masing-masing orang. Akibatnya, hl-hal yang jelas haram hukumnya menjadi halal, yang wajib menjadi sunnah dan seterusnya[3]. 

Secara sederhana Dr Adian Husaini menguraikan, bahwa liberalisasi agama adalah suatu proses menempatkan suatu agama kedalam proses dinamika sejarah. Artinya, dalam liberalisasi agama, tidak ada agama yang selamat dari perubahan sejarah. Semua agama harus tunduk pada perubahan dan dinamika sejarah[4]. Ketika liberalisasi masuk pada agama-agama, mau tidak mau agama harus tunduk pada perubahan sejarah. Begitu juga saat liberalisasi masuk kepada agama Islam, maka Islam harus tunduk pada perubahan sejarah.   
         
Sebenarnya orang mengetahui, bahwa jebeolan pesantren yang menjadi tokoh liberal, seperti Ulil Absar Abdalla, Zuhairi Su'ud dls. Mereka menjadi liberal bukan karena didikan Pesantrennya yang mengajarkan paham liberal, melainkan karena mereka setelah keluar dari Pesantrennya melanjutkan studi pendidikan di perguran-perguruan tinggi yang di dalamnya berinteraksi langsung dengan pemahaman-pemahaman yang liberal. Maka yang diketahui oleh Masyarakat, bukan pesantren yang mencetak dan memproduksi pemikiran-pemikiran liberal, melainkan pribadi-pribadi masing-masing yang tergoda dengan rayuan virus liberal. Maka tidak sehat, bila ada ungkapan, “Pesantren sarang kaum liberal”. Sebab cirri khas pesantren dari dulu hingga kini masih berpegang teguh dengan paham-paham Ahlus Sunnah waljama’ah. Penulis sangat tidak setuju bilamana ada yang bilang jebolan pesantren kabanyakan liberal?. Sebab menjadi liberal bukan hanya orang-orang pesantren saja, siapa pun, dari jebolan sekolah mana pun kalau bersinggungan dengan pemikiran liberalisme tanpa menyaringnya maka tak menutup kemungkinan sedikit demi sedikit akan tergoda dan terjangkit virus liberalisme.           

Akhir kata, karena kebanyakan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari ajaran Ahlus Sunnah Waljama’ah muncul dari perguruan tinggi atau sekolah tinggi yang dosennya tidak berpaham Ahlus Sunnah Waljama’ah, maka kaum santri yang hendak melanjutkan studi belajarnya harus ekstra hati-hati, berpegang teguh pada ajaran paham-paham Ahlus Sunnah Waljama’ah yang dipelajari di pesantrennya, dan tidak boleh terjebak dan tergoda virus liberalism ini. Mestinya santri tidak boleh latah terhadap liberalisme yang seakan-akan menarik, padahal berduri.  Dan manakala dipandang tidak mampu mengontrol dan menyaring paham yang menyimpang maka hendaknya mencari perguruan tinggi yang masih kental dengan ajaran Ahlus Sunnah Waljama’ah. Ada baiknya kita menengok apa yang diucapakan oleh ulama ushul fiqih, “Menolak lebih utama ketimpang mengobati”.  



[1] Mohammad Achyat Ahmad, Liberalisasi Islam Di Pesantren, Pustaka Sidogiri, Pasuruan (hal: 333)

[2] Syamsu-l Arifyn Munawir, Islam Indonesia Di Mata santri , Pustaka Sidogiri, Pasuruan (hal: 71).
[3] Hamid Fahmy zarkasyi, MISKAT Refleksi Tentang Islam, Westernesasi & Liberalisasi,  Insis, Jakarta Selatan (hal: 275).
[4] Mohammad Achyat Ahmad, Liberalisasi Islam Di Pesantren, Pustaka Sidogiri, Pasuruan (hal: 327).

Tidak ada komentar:

PALING PUPULER

KONSEP BERBANGSA DAN BERNEGARA SYEKH MUSTAFA AL-GHALAYAINI

Perihal bengsa sama dengan perihal individu bangsa itu sendiri. Tatkala individu bangsa, setiap satu persatu orang-orannya itu m...