Rabu, 03 Februari 2016

MARI BIKIN GADUH NU; SURAT UNTUK ROHMATULLAH ADNY ASYMUNI


Oleh: Royhan Rikza

Salam silaturahmi saudara Rohmat yang sedang melalang buana dengan segala aktivitasnya menjadi aktivis kampus…
Membaca tulisan Anda tentang NU, saya berkeinginan untuk menanggapinya pula. Berharap, tulisan ini turut menjadi semacam polemik pemikiran dari ‘anak-anak muda’ NU yang tidak memiliki legalitas-formal sebagai anggota resmi—setidaknya menjadi bagian kewargaan NU yang konon mencapai 40 juta jiwa —tapi sah-sah untuk menanggapi organisasinya.


Satu hal yang menarik bagi saya, sekalipun baru dapat ditemukan pada paragraf terkahir dari catatan Anda Surat Untuk Komentator Abal-abal & Tokoh NU 

(http://rohmatullahadny.blogspot.co.id/2016/01/surat-untuk-komentator-abal-abal-tokoh.html). 

Yaitu tulisan saudara yang menyatakan karena kegaduhan komentar yang abal-abal seperti penulis ini, akhirnya NU ditertawai oleh mereka yang benci kepada NU. Masihkah NU berwibawa seperti dulu yang diceritakan nenek moyang kita?
Tulisan Anda itu, kok bagi saya merupakan catatan yang keluar dari seorang yang merasa ketakutan akan citra NU. Apakah NU kemudian akan benar-benar runtuh, jika kemudian tulisan Anda dibaca banyak orang, lebih-lebih orang-orang yang bersebrangan dengan NU? Apa iya dengan tulisan semacam itu, NU akan tiba-tiba berdamai layaknya Partai Golkar yang beberapa waktu lalu sempat mendapat angin segar perdamaian? Pelik dan NU memang tidak bisa disamakan dengan partai. Sebab NU bukan untuk mencari kuasa di Nusantara, tapi bagaimana—salah satunya— ia dapat bersinergi dengan penyelenggara kekuasaan.
Saudara Rohmat yang semoga selalu diberkahi pada tiap karya yang Anda tulis…

Tentang persoalan yang Anda usung, saya pastikan bahwa Anda juga mengikuti penggalan berita mengenai pertemuan beberapa ulama dan habaib di Pondok Pesantren Sidogiri (PPS), beberapa waktu lalu. Mungkin juga sudah melihat videonya yang juga di unggah di youtube. Cukup panas memang suasananya. Melihatnya, seperti melihat tokoh-tokoh ulama jaman klasik yang asyik berdebat yang bisa kita lihat dari gambar-gambar sampul kitab atau buku sejarah.
Pertemuan tokoh-tokoh berpengaruh di PPS waktu itu, dimana kita juga pernah mengenyam pahit getir dalam menimba ilmu agama, merupakan hal yang cukup menarik perhatian publik. Bukan karena ajang silaturahmi itu saja, tapi isi acara yang salah satunya adalah mempertanyakan maksud Islam Nusantara yang selain menjadi tema Muktamar NU pada Agustus tahun lalu, juga ternyata adalah ide dari KH. Said Aqil Siradj sendiri.
Bagi sebagian kalangan, ide Islam Nusatara, ditolak. Terdapat pula pendapat yang ingin mengetahui seperti apa wajah Islam Nusantara itu. Jika tidak bertentangan dengan pondasi Islam, mungkin memang bisa diterima. Pendapat lain ada yang memang menyetujuinya. Itulah perbedaan yang bagi saya lumrah. Likulli ro’sin ro’yun, bukankah begitu?

Baiklah. Kita letakkan terlebih dahulu polemik dalam polemik, mengenai Islam Nusantara. Yang ingin saya sampaikan kepada saudara Rohmat adalah kita yang muda-muda ini bagaimana agar tetap menjadi generasi NU, jika diperkenankan untuk menyatakan demikian, yang tidak mau kalah untuk saling berperang melalui karya tulis. Tentu saja perang tulisan atau umumnya disebut sebagai polemik, yang memiliki nilai kemanfaatan bagi pembaca—setidaknya bagi masing-masing penulis. Sebab, mau diakui atau tidak, NU sepeninggal almarhum KH. Sahal Mahfudh atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, sepertinya tidak memiliki kekuatan atau minat yang menggebu untuk lebih memihak pada penerbitan sebuah karya.

Ikhtiar saya dengan menulis surat semacam ini, juga agar bisa menghidupkan kembali tradisi tulis menulis. Apalagi saya tahu kalau Anda juga aktif di HMI yang pasti tak luput dari sasaran untuk selalu memproduksi sebanyak-banyaknya sebuah karya. (Sekalipun tidak ada hubungannya dengan NU, HMI bagi saya menjadi inspirasi sendiri dalam tulis menulis. Kalau boleh jujur, referensi yang saya miliki antara HMI dengan PMII, hampir sebanding. Mungkin bisa kita bahas pada lain kesempatan)
Saudara Rohmat yang saya hormati…

Saya teringat sebuah ungkapan salah seorang teman tentang NU bahwa untuk mengurus NU itu tidak perlu mendebatkan orang-orang atasan yang memang kebanyakan kelewat pro-kontra. Tapi yang perlu kita ayomi adalah generasinya yang belum tentu nantinya tahu apa itu NU. Demikian kira-kira pernyataan seorang teman saya itu. ia pun mendapatkan saran itu dari salah seorang putra kyai yang masih memiliki hubungan erat dengan keluarga pengurus besar NU.

Untuk yang paragraf di atas ini, saya akui masih memungkinkan untuk menimbulkan kegaduhan oleh karena asbabul wurud-nya yang kurang proporsional. Tapi, setidaknya ada nilai, makna, atau hikmah yang bisa diperoleh darinya. 
Bahwa NU memang dipegang-kendalikan oleh para Kiai dan pesantren merupakan benteng-benteng kuat yang tak mungkin dirobohkan oleh gempuran tank-tank ataupun teroris. Tapi tidak menutup kemungkinan pula bahwa NU juga perlu mendapat masukan dari orang-orang yang berada diluar garis darah biru, entah itu kiai ataupun habaib. Sebab, masih tersisa dan mungkin sering kali disisihkan, bahwa diantara yang peduli dengan NU adalah para insan cendekia, budayawan, dan muadzin-muadzin langgar atau surau di pelosok-pelosok desa.

Biarlah para tokoh NU, jika memang patut dijadikan tokoh bagi NU, terus gaduh pada tingkatannya masing-masing. Sebab pula, orang-orang NU yang berada di akar rumput tidak paham karena tingginya ilmu dan terlalu silaunya cahaya itu.
Saya sendiri yang tak pernah puas dan selalu haus akan ilmu, tak ingin pula disilaukan oleh cahaya-cahaya ilmu yang mereka miliki. Ingin pula saya memiliki ilmu yang juga mereka miliki. Tapi saya hanya mampu membuat gaduh pada tingkatan saya kali ini. Semoga memang yang menjadi kegaduhan saya kali ini dan mungkin juga yang diutarakan saudara Rohmat, dapat dimafhumi sebagai kegaduhan tingkat teri, sedangkan mereka yang menjadi pembesar NU, menjadi sebuah kegaduhan tingkat lumba-lumba. Sedangkan yang sudah mendahului kita semua ini, tersenyum, melihat generasi NU yang selalu memiliki I’tikad dan ikhtiar limaslahati ummat. Semoga.

Akhuka al faqir Muhammad Roihan Rikza, 
Kepanjen 28 Januari 2016

Tidak ada komentar:

PALING PUPULER

KONSEP BERBANGSA DAN BERNEGARA SYEKH MUSTAFA AL-GHALAYAINI

Perihal bengsa sama dengan perihal individu bangsa itu sendiri. Tatkala individu bangsa, setiap satu persatu orang-orannya itu m...