Ada sekelompok mahasiswa patriotik yang merasa aksi turun ke jalan itu satu bentuk heroisme gerakan mahasiswa. Mengkritisi pemerintah adalah keniscayaan! Tapi pasca aksi mereka jadikan foto mereka saat orasi sebagai profil picture. Tak lupa juga di-share link-link berita yang meliput aksi. Dengan jumawanya mereka meng’kafir’kan mahasiswa lain yang memilih diam atau tak sepakat dengan aksi mereka.
Ada sekelompok mahasiswa yang fokus pada gerakan advokasi dan pengabdian masyarakat. Bangga dengan dokumen kajian tebal berjudul “social mapping”. Merasa mulia dan sudah menjadi bagian dari masyarakat karena pernah tinggal di dusun reyot dan ikut pak tani mencangkul di sawah walau tak lebih dari beberapa hari, tapi seolah sudah merasakan derita rakyat.
Lalu dengan pongahnya mereka meng’kafir’kan mahasiswa lain yang turun ke jalan tapi belum “menjadi bagian dari masyarakat” seperti halnya mereka. “Kalian ditunggangi!”, begitu teriaknya.
Ada juga sekelompok mahasiswa yang jiwanya internasional. Lebih suka ikut konferensi atau student exchange. Kuliah rajin, cepat lulus, dan dari jauh-jauh hari sudah siapkan diri untuk lanjut S2 di luar negeri. Mumpung lagi banyak beasiswa katanya.
Mereka bilang bahwa beginilah harusnya orientasi mahasiswa hari ini: membangun networking, mengasah softskill, dan kuliah setinggi-tingginya. Dengan sesumbarnya mereka meng’kafir’kan mahasiswa lain yang menurut mereka “konservatif” dan terjebak romantisme masa lalu.
Saat mahasiswa sudah mengklaim kebenaran aktivisme gerakan versinya, saat mahasiswa sudah nyinyir dan “mengkafirkan” gerakan kawan-kawannya sendiri padahal ia tidak tahu benar apa yang dilakukan kawannya, saat ambisi-ambisi pribadi, egoisme, dan kepongahan sudah menyusup kepada gerakan mahasiswa. Justru disanalah gerakan mahasiswa, bagi saya, telah menggali kuburnya sendiri.
Mungkin kita mesti lebih banyak beristighfar, mesti lebih rendah hati, lebih banyak menghargai, dan berkaca pada diri sendiri, alih-alih nyinyir dan saling ‘klaim’ kebenaran. Ingatlah Bung, dasar pergerakan adalah nurani yang bernyala dan hati yang ikhlas, yang bersih dari ambisi pribadi dan kepentingan dunia, yang tidak mengharap sorot lampu popularitas dan riuhan tepuk tangan. Demikian tulis Yoga mantan Presiden Mahasiswa ITB (jika saya tidak keliru).
Entah kapan saya menyimpan dan menulis tulisan ini. Namun yang pasti, ia masih tersimpan dengan tenang di satu folder arsip di kompi pribadi menjelang berakhirnya semester satu, sekitar dua setengah tahun lalu. Tulisan ini mengantarkan saya kepada beberapa hal penting saat kuliah yang mesti kita renungkan. Awal perenungan tersebut, dapat kita awali dengan pertanyaan “apa yang ingin kita capai saat kuliah dan setelahnya? Jalan perjuangan mana yang akan dipilih?”.
Bagaimanapun, hidup adalah soal memilih. Kesetian pada pilihan tak jarang adalah segala-galanya. Setelah selesai memilih, usahlah juga khawatirkan pilihan orang lain. Sungguh tak ada yang lebih baik dari siapapun di hidup ini.
Oleh Putra Ansa Gaora
Ketum Komisariat Vokasi IPB
Ketum Komisariat Vokasi IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar