Jika teliti, anda akan menangkap sebuah pemandangan aneh di pintu gerbang Pondok Pesantren Sidogiri. Di pintu masuk timur tepat di sebelah barat jalan, anda akan disambut ukiran Burung Garuda. Lambang Republik Indonesia tersebut diukir di tembok sebelah kiri gerbang. Di bawahnya, tertera butir-butir Pancasila. Tak ada gambar dan tulisan lain selain itu, termasuk petunjuk bahwa gerbang itu adalah pintu masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri.
Ada apa gerangan dengan gerbang Sidogiri? Konon, ukiran Burung Garuda
dan butir-butir Pancasila itu dibuat atas instruksi dari Hadratussyekh
K.H. Hasani. Tidak diketahui pasti semenjak kapan. Namun dari wajah
gambar, tampak bahwa ukiran tersebut sudah berusia puluhan tahun.
Tak heran, Hadratussyekh menginstruksikan membuat gambar itu di pintu gerbang. Jika anda membaca manuskrip Kiai yang disebar Keluarga beberapa puluh hari setelah wafatnya, anda pasti bisa meraba-raba apa maksud beliau dengan gambar itu.
Kiai Hasani, seperti yang banyak beliau tulis dalam manuskripnya, merupakan tokoh yang memiliki kekaguman luar biasa dengan butir demi butir Pancasila. Butir-butir itu searah dengan pemikiran beliau, tapi dalam penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki orang pada lazimnya. Perbedaan penafsiran itu terletak pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan tegas Kiai Hasani menyatakan bahwa sila pertama ini hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak dengan agama-agama lain. Logikanya, dengan sila ini semua agama tidak berhak untuk hidup di Indonesia karena tidak sesuai dengan dasar negara.
Apa yang beliau ungkapkan tentang tafsir sila ini tidak hanya sekedar apologia. Kiai Hasani membangun sebuah argumentasi teologis yang mapan. Beliau mengurut arti kata “esa” dari langgam teologi: bahwa pada titik makna dasarnya keesaan itu hanya sesuai dengan akidah Islam.
Argumentasi yang beliau bangun tentang kemanunggalan sila pertama dengan akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa sila tersebut mengandung dua unsur pokok. Pertama, kepercayaan akan eksistensi Tuhan (i‘tiraf al-uluhiyah); kedua, kepercayaan akan keesaan Tuhan (i‘tiraf al-wahdaniyah). Dengan unsur pertama, dasar negara tersebut menolak komunisme-ateisme; sedang unsur kedua menolak akidah agama selain Islam.
Konsekwensi dari sila tersebut adalah bahwa Republik Indonesia harus menyesuaikan segala haluan, kebijakan dan undang-undangnya dengan ajaran Islam, karena ideologi negaranya hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak agama lain.
Sebagai dasar negara tentu hal tersebut harus betul-betul ditegakkan di Indonesia. Kiai Hasanimenyerukan agar kaum muslimin betul-betul memperjuangkan Pancasila, dalam arti bahwa “al-hukm bima anzal-Allah” harus berlaku di Bumi Pertiwi ini.
Dalam pandangan K.H. Hasani Nawawie, kemanunggalan ajaran Islam dengan Pancasila juga terbentuk melalui sila kedua (Keadilan Sosial). Jika sila pertama mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan vertikal dengan Allah, maka sila kedua mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan horizontal antara hamba dan hamba.
Visi umum ajaran Islam hanya ada dua: al-qiyam bi haqq al-Haqq dan al-qiyam bi haqq al-khalq. Pertama, melaksanakan kewajiban terkait dengan Sang Pencipta; kedua, melaksanakan tanggungjawab terkait dengan makhluk Sang Pencipta. Kedua visi itu dipresentasikan seluruhnya oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan Sosial.
#SelamatHariKelahiranPancasila2018
Tak heran, Hadratussyekh menginstruksikan membuat gambar itu di pintu gerbang. Jika anda membaca manuskrip Kiai yang disebar Keluarga beberapa puluh hari setelah wafatnya, anda pasti bisa meraba-raba apa maksud beliau dengan gambar itu.
Kiai Hasani, seperti yang banyak beliau tulis dalam manuskripnya, merupakan tokoh yang memiliki kekaguman luar biasa dengan butir demi butir Pancasila. Butir-butir itu searah dengan pemikiran beliau, tapi dalam penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki orang pada lazimnya. Perbedaan penafsiran itu terletak pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan tegas Kiai Hasani menyatakan bahwa sila pertama ini hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak dengan agama-agama lain. Logikanya, dengan sila ini semua agama tidak berhak untuk hidup di Indonesia karena tidak sesuai dengan dasar negara.
Apa yang beliau ungkapkan tentang tafsir sila ini tidak hanya sekedar apologia. Kiai Hasani membangun sebuah argumentasi teologis yang mapan. Beliau mengurut arti kata “esa” dari langgam teologi: bahwa pada titik makna dasarnya keesaan itu hanya sesuai dengan akidah Islam.
Argumentasi yang beliau bangun tentang kemanunggalan sila pertama dengan akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa sila tersebut mengandung dua unsur pokok. Pertama, kepercayaan akan eksistensi Tuhan (i‘tiraf al-uluhiyah); kedua, kepercayaan akan keesaan Tuhan (i‘tiraf al-wahdaniyah). Dengan unsur pertama, dasar negara tersebut menolak komunisme-ateisme; sedang unsur kedua menolak akidah agama selain Islam.
Konsekwensi dari sila tersebut adalah bahwa Republik Indonesia harus menyesuaikan segala haluan, kebijakan dan undang-undangnya dengan ajaran Islam, karena ideologi negaranya hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak agama lain.
Sebagai dasar negara tentu hal tersebut harus betul-betul ditegakkan di Indonesia. Kiai Hasanimenyerukan agar kaum muslimin betul-betul memperjuangkan Pancasila, dalam arti bahwa “al-hukm bima anzal-Allah” harus berlaku di Bumi Pertiwi ini.
Dalam pandangan K.H. Hasani Nawawie, kemanunggalan ajaran Islam dengan Pancasila juga terbentuk melalui sila kedua (Keadilan Sosial). Jika sila pertama mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan vertikal dengan Allah, maka sila kedua mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan horizontal antara hamba dan hamba.
Visi umum ajaran Islam hanya ada dua: al-qiyam bi haqq al-Haqq dan al-qiyam bi haqq al-khalq. Pertama, melaksanakan kewajiban terkait dengan Sang Pencipta; kedua, melaksanakan tanggungjawab terkait dengan makhluk Sang Pencipta. Kedua visi itu dipresentasikan seluruhnya oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan Sosial.
#SelamatHariKelahiranPancasila2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar