Bismillah, alhamdulillah....
Di dunia medsos yang tak terlepas dari sebagian besar umat Indonesia menjadi umat tanpa batas, tanpa kasta, di mana setiap orang berhak bersuara, berhak beropini, berhak mengeluarkan gagasan, dan berhak mengkritik asal dengan data valid dan dapat dipertanggungjawabkan, sebab kritik tanpa dasar data hanya tong kosong nyaring bunyinya yang akhirnya membunuh diri sendiri, melanggar undang-undang ITE, apalagi kritik itu hanya berdasar kebencian dan hoax nyata, dan itu sangat berbahaya.
Di dunia medsos yang tak terlepas dari sebagian besar umat Indonesia menjadi umat tanpa batas, tanpa kasta, di mana setiap orang berhak bersuara, berhak beropini, berhak mengeluarkan gagasan, dan berhak mengkritik asal dengan data valid dan dapat dipertanggungjawabkan, sebab kritik tanpa dasar data hanya tong kosong nyaring bunyinya yang akhirnya membunuh diri sendiri, melanggar undang-undang ITE, apalagi kritik itu hanya berdasar kebencian dan hoax nyata, dan itu sangat berbahaya.
Setiap santri, pasti selalu menghormati kyainya, gusnya, atau bindereh/loranya. Ia pasti marah bercampur murka manakala orang lain menghina dan mengejeknya. Itulah sifat asli (alamiah) santri yang memang diajarkan dalam kitab ta'lim muta'allim, al-akhlaqu lil banin, dan adabul muta'allim, serta kitab-kitab serupa yang diajarkan di dunia Pesantren untuk membangun karakter baik kaum santri dengan mengamalkan hadits populer innama bu'itstu li utammima makarimal akhlaq.
Namun banyak dari kita selaku santri, saking ingin menghormati gusnya, tanpa disadari telah menghina gusnya sendiri, bahkan berimpas pada penghinaan pada almamater sucinya (pesantren). Kok bisa begitu?. Masih ingatkah Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam mewanti-wanti para sahabatnya agar tidak mencaci maki, menghina orang tuanya sendiri, lalu para sahabat bertanya, bagaimana mungkin bisa menghina orang tua sendiri. Nabi menjawab, ya dengan cara menghina ortu orang lain, sehingga dengan penghinaan itu, orang tua diejek dan dihina orang lain akibat ulah sendiri.
Umat Islam dilarang menghina agama orang lain, apapun agamanya, sebab dengan menghina agama orang lain, pasti orang lain akan menghina agama umat islam. Menghina Tuhan, tidak harus secara langsung menghina Tuhan, menghina tuhan orang lain, sejatinya menghina Tuhannya sendiri. Oleh sebab itu, Islam datang dengan keramahan akhlak, budi pekerti yang mulia, dan etos kerja yang gigih, bukan dengan cacian, makian, apalagi tindakan bully habis-habisan.
Tak jauh beda dengan redaksi di atas, manakala kita menyebut "gus yang ditokohkan orang lain" kemudian kita menyebut dengan sebutan yang tak layak di dengar telinga, hanya karena terjadi perbedaan dalam menentukan sikap, pemikiran dan gagasan, sejatinya kita sebenarnya telah menghina dan menistakan "gus kita sendiri yang kita tokohkan". Jangan salahkan orang lain, bilamana orang lain menghina "gus kita" atau -mohon maaf- pesantren kita. Sebab itu semua akibat ulah kita sendiri yang menghina dan menghujat "gus orang lain yang ditokohkan".
Penting sekali bagi kita, sebelum kita melabeli gus-gus orang lain dengan label yang tak pantas dikeluarkan oleh pribadi santri, semisal ucapan iblis, cebong, bani serbet, dan kata-kata lain yang sejenisnya. Kalau mau mengkritik silakan kemukakan dengan lantang, tapi tanpa harus mengeluarkan kata-kata yang tak pantas disematkan pada yang dikritik. Kalau mau berbeda pendapat, gagasan dan opini, silakan, toh beda pendapat itu alamiah yang tak harus kita tanggapi dengan menaikkan volume darah dan kata kasar yang mengguliti bulu daging manusia.
Kalau kita tak ingin gus-gus kita dihina, janganlah menghina gus-gus orang lain. Kalau kita tak ingin dihina orang lain, janganlah kita menghina orang lain. Bukankah kata-kata ini familiar dan sering kita ingatkan. Bukankah kita sering dengar: berbuat adil sejak dalam alam pikiran. Adil: memuliakan orang lain akan dimuliakan orang lain dan sebaliknya. Lalu kemana mutiara kata ini kita simpan?. Dalam hatikah atau dalam mimpi-mimpi di siang bolong?.
Semustinya, kita jangan menunggu orang lain berbaik sangka pada kita, tapi kita sendiri yang berprasangka baik duluan pada orang lain. Apa ruginya kita berbaik sangka meski itu salah?. Mana ada manusia sehebat malaikat selain Kanjeng Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
Kalau kita sering mengintai dan mencari perbedaan, lalu kapan kita akan mencari titik temu dari perbedaan dan bisa bernostalgia dengan sebatang rokok dan secangkir kopi hitam manis?.
Hormati gus-gus kita dengan tidak menghina gus-gus orang lain. Itu saja. Wallahu a'lam.
Rohmatullah Adny Asymuni,
Kuningan, 16/06/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar