Jumat, 03 Mei 2019

MENGAJI EKONOMI ISLAM PADA IMAM AL-GHAZALI




Manusia tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas ekonomi. Ada yang menjadi pedagang. Ada yang menjadi pengusaha. Ada yang menjadi koly. Ada yang menjadi karyawan. Ada yang menjadi penjaga parkiran. Ada yang menjadi petani. Dan segala aktivitas lainnya untuk bertahan hidup (mencari maisyah) dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. 


Ada baiknya kita kembali mengaji pada pemikiran brilian Imam Al-Ghazali tentang ekonomi agar kita tidak terjerumus pada kerugian-kerugian yang didapatkan di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam pandangan Imam Al-Ghazli bahwasanya aktivitas ekonomi memiliki dasar baik dari nash Al-Qur’an maupun nash hadits. Ayat وجعلنالكم فيها معايش قليلاما تشكرون  memberikan penjelasan pada kita, bahwa Allah swt telah menjadikan dunia sebagai tempat untuk mencari maisyah (penghidupan) sebagai nikmat yang mestinya wajib kita syukuri, namun sedikit sekali bagi manusia yang mampu mensyukuri nikmat yang telah berlimpah ruah Allah anugerahkan pada mereka.

Setiap orang yang mengisi hari-harinya dengan mencari penghidupan (maisyah), membuka usaha sendiri, menjadi koly (bekerja pada orang lain), menjadi pengusaha, membuka lapangan kerja untuk banyak orang, bercocok tanam, dan mengarit adalah merupakan aktivitas yang dipuji oleh Allah swt manakala telah benar dalam niatnya, yaitu antara lain yang telah disinggung oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali: niat yang baik dalam permulaan beraktivitas ekonomi menjaga diri dari meminta-minta, tidak berharap dapat pemberian (barang halal) dari orang lain, sebagai penolong untuk agama, mencukupi keluarga dan anak keturunan.  Dan jangan sampai aktivitas ekonomi menghalangi dirinya untuk mendekatkan diri pada Allah, sehingga dalam pandangan Imam Al-Ghazali ekonomi (pasar dunia) jangan sampai melarang masuk pada pasar akhirat. Sedangkan pasar akhirat adalah masjid, tempat berkonsentrasi mendekatkan diri pada sang maha pencipta dan sang pemberi rezeki, Allah swt. 
Sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi  

رجال لاتلهيهم تجارة ولابيع عن ذكر الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة     

yang artinya : Laki-laki yang tidak terlalaikan oleh perniagaan dan transaksional (jual-beli) dari zikir mengingat Allah swt, melaksanakan sholat dan membayar zakat. Orang-orang terdahulu (salafuna ash-sholeh) -sebagaimana penuturan Imam Al-Ghazali- bergegas dan bersiap-siap ibadah, manakala mendengarkan seruan adzan berkumandang, dan untuk sementara pasarnya dipasrahkan pada ahli dzimmah (non Muslim yang menjadi pegawainya) dan anak-anak kecil.

Aktivitas ekonomi jangan dipandang hanya sebagai aktivitas dunia semata, boleh jadi aktivitas ekonomi bernilai ibadah dan menjadi pelepur dosa. Sebab pernah ada kejadian di masa Kanjeng Nabi Muhammad saw bersama para sahabat-sahabatnya. Saat itu, para sahaba Nabi melihat seorang pemuda yang memiliki badan yang kuat, dan kekar, namun pagi gelap gulita dia keluar rumah untuk bekerja. Kemudian para sahabat mencelanya seraya berkata: celaka pemuda ini, seandainya masa muda dan kekarnya ini ia gunakan untuk membela Allah (fi sabilillah) kan lebih baik. Namun Nabi  Muhammad saw protes pada para sahabat dan berkata: jangan kalian berkata begitu. Jikalau pemuda ini keluar pagi buta berusaha/bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, hal demikian itu termasuk fi sabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya, agar terjaga dari meminta-minta, demikian itu juga fi sabilillah. Namun jikalau ia bekerja untuk pamer badan dan sombong, demikian itu fi sabilisy syaiton.

Saking nilainya aktivitas ekonomi sangat mulia, Nabi Muhammad saw menuturkan pada kita; sungguh salah satu diantara kalian yang mengambil seikat kayu, kemudian dipikul dipundaknya itulah lebih baik dibandingkan kamu meminta-minta pada seseorang (yang Allah anugerahkan rezeki/fadl) diberi atau tidak diberi. (Hadits kitab ihya’ ulumiddin dan kitab mauidzatul mukminin). Bukankah Nabi Muhammad saw pernah ditanya: pekerjaan apa yang paling bagus?. Nabi menjawab: perbuatan orang melalui tangannya dan setiap aktivitas jual-beli (ekonomi) yang mabrur (diberkahi Allah swt).

Tidak sedikit pula kita jumpai, para pemuda asyik dengan dunia penganggurannya. Tidak sedikit pula kita jumpai para pengemis dengan beragam modelnya. Tidak sedikit pula kita jumpai para peminta-minta dengan beragam gayanya. Pun juga tidak sedikit pula kita jumpai orang-orang yang lebih memilih menjadi pemulung daripada meminta-minta. Apapun aktivitas yang digeluti manusia merupakan hak mereka. Namun Islam tidak membiarkan kita menjadi orang yang bermartabat di sisi Allah swt. Lebih baik manusia menjadi tukang pemulung dengan jerih payahnya ia menghasilkan uang untuk bertahan hidup daripada menjadi orang yang kerjaannya hanya mengandalkan tangannya untuk meminta-minta. Maha benar Rasulullah saw yang pernah bersabda: Tangan diatas lebih mulia dibandingkan tangan di bawah, alias meminta-minta (menjadi pengemis bayaran).

Sayyidina Umar bin Al-Khatab mengatakan: janganlah kalian duduk manis seraya berdoa, Ya Allah berilah rezeki pada kami. Padahal kalian sadar bahwa langit yang biru tidak mungkin menurunkan hujan emas dan permata perak. Bahkan Sayyidina Ibnu Mas’ud sangat benci pada orang-orang yang tidak mengoptimalkan hari-harinya dengan aktivitas. Beliau berkata: Sungguh saya paling tidak suka melihat seorang yang menganggur, tidak beraktivitas untuk dunianya dan juga tidak beraktivitas untuk akhiratnya. Dari pemaparan kedua tokoh hebat ini memberikan penjelasan pada kita, merupakan hal yang alamiah manakala orang ingin mencukupkan kehidupannya dan bertahan hidup, mau tidak mau ia harus mengisi hari-harinya dengan beragam aktivitas ekonomi yang diniatkan sebagai penguat untuk beribadah pada Allah swt sesuai dengan firmannya yang artinya tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.

Akhir kata, bagi para pegiat ekonomi apapun bidangnya, jangan sampai melupakan kewajiban mengabdikan diri pada sang pemberi rezeki. Teruslah menggeluti ekonomi, namun tetap dalam batas-batas dan koridor yang telah digariskan oleh nilai-nilai ajaran Islam. Namun juga perlu diketahui tidak semua orang diharuskan menggeluti bidang ekonomi. Seoarang guru yang menyibukkan dirinya dengan mengajar anak-anak asuhnya dengan ilmu yang bermanfaat boleh tidak menggeluti aktivitas ekonomi, bahkan hal demikian lebih utama kalau dia telah dicukupkan dengan rezeki yang telah disiapkan untuk kesejahteraan guru/ulama. sebagaimana juga seorang presiden lebih dia tidak menyibukkan dirinya dengan menggeluti bidang ekonomi, sebab dirinya memiliki kewajiban umum untuk mengurusi rakyatnya. Sebagaimana yang diisyarhkan oleh para sahabat Nabi Muhammad ketika Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq memimpin jadi khalifah agar beliau meninggalkan perniagaan jikalau dengan mengurusi bidang perniagaan dapat melalaikan mengurusi kemaslahatan umum untuk rakyatnya yang dipimpin. Dan akhirnya Sayyidina Abu Bakar digaji dari badang keuangan baitul maal. Namu disaat beliau wafat, sebelumnya beliau berwasiat agar uang yang didapatinya dari baitul maal agar dikembalikan lagi ke baitul maal.  Wallahu a’lam bish-showab.


Rohmatullah Adny Asymuni

Tidak ada komentar:

PALING PUPULER

KONSEP BERBANGSA DAN BERNEGARA SYEKH MUSTAFA AL-GHALAYAINI

Perihal bengsa sama dengan perihal individu bangsa itu sendiri. Tatkala individu bangsa, setiap satu persatu orang-orannya itu m...