Jumat, 04 Oktober 2019

KRITIK ATAS KESALAHAN PEMBAGIAN ZAKAT DI KALANGAN MASYARAKAT

Sumber foto: https://www.republika.co.id
Oleh: Rohmatullah Adny Asymuni

Sudah mafhum menurut ijma’ (konsensus) ulama bahwa zakat adalah merupakan salah satu rukun Islam (Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-Damisqiy, Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil Aimmah, Al-Haramain, tt, halaman: 74) yang wajib ditunaikan oleh umat Islam. Sehingga orang yang tidak mau mengeluarkan zakat dan orang yang mencegah pembayaran zakat tergolong melakukan dosa besar. Bahkan kewajiban zakat adalah ajaran agama Allah yang diketahui secara jelas dan pasti. Karena itu, siapa yang mengingkari kewajiban ini, sesungguhnya ia telah mendustakan Allah dan mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, sehingga ia dihukumi kufur.” (Muhyiddin an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, cetakankedua, 2003, jilid V, halaman: 331).

Definisi zakat secara bahasa adalah al-thathir (menyucikan) wal ishlah (memperbaiki). Karena sejatinya orang yang mengeluarkan zakat berarti dia telah melakukan penyucian dirinya dari sifat bakhil, kikir dan pelit dan memperbaiki dirinya dengan ketaatan pada Allah Swt, sebab zakat adalah perintah langsung yang datangnya dari Allah Swt. Sedangkan definisi zakat menurut istilah syariatnya adalah nama bagi sesuatu yang dikeluarkan (ditunaikan) dari harta atau badan dengan cara-cara tertentu. (Syaikh Muhammad bin Salim, Is’adurrofiq, Al-Haramain, tt, halaman: 1/107).

Zakat termasuk dalam bagian ibadah yang diperintahkan Allah. Namun ibadah zakat bisa disebut dengan ibadah sosial. Sebab ketika seseorang telah mengeluarkan zakatnya berarti ia juga telah membantu saudaranya yang berhak untuk dibantunya. Oleh sebab itu, zakat seperti ibadah yang lain, memiliki syarat-syarat yang wajib terpenuhi. Di kutip dari kitab Quut al-Habib al-Gharib (99) yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi yang populer dengan sebutan Syaikh Nawawi al-Bantani dijelaskan bahwa syarat wajib zakat ada lima : 1. Islam, 2. Hurriyah (orang merdeka), 3. Al-Milk Tam (milik sempurna), 4. Mencapai satu Nishab, 5, Haul (satu tahun). Artinya, jikalau syarat-syarat wajib ini tidak terpenuhi maka tidak wajib mengeluarkan zakat. Sehingga selain yang telah disebut oleh Syaikh Nawawi al-Bantani ini, tidak wajib membayar zakat. Misalnya, ada orang yang kaya raya, tapi dia tidak beragama Islam, maka ia tidak wajib membayar zakat. Begitu juga, seandainya ada orang akan mendapatkan kekayaan dari sayembara berupa lima ekor unta. Maka ketika 5 ekor unta itu belum dimilikinya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat, sebab ia tidak memiliki unta tersebut secara penuh dan sempurna, atau dalam bahasa fikih
  فلا تجب الزكاة فيما لايملكه ملكا تاما   
 (zakat tidak wajib pada barang yang tidak/belum dimiliki dengan kepemilikan sempurna). (Syaikh Nawawi al-Bantani, Quut al-Habib al-Gharib, Al-Haramain, 200, halaman: 100).

Kemudian timbul pertanyaan, apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya?. Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis merujuk pada kitab-kitab klasik (salaf) yang ditulis oleh kalangan ulama yang bermazhab syafiiyah seperti yang keterangan dalam kitab Is’adurrofiq (1/108) yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Salim Ba Bashil bahwa macam yang wajib dikeluarkan zakat ada lima macam: 1. Al-Na’am (hewan ternak) berupa unta, sapi, domba/kambing. 2. Tsimar (buah-buahan) berupa al-tamr (kurma) dan al-zabib (anggur) dan Al-zuru’ (makanan pokok) yang disesuaikan dengan makanan pokok negara masing-masing umat Islam. di Indonesia, salah satu makanan pokoknya adalah beras. 3. Al-Naqdu (emas dan perak) dan ma’dan (tambang emas/perak) dan rikaz (harta temuan/peninggalan orang jahiliyah yang terpendam di bumi/tanah). 4. Amwal at-Tijarah (harta yang diperdagangkan/perniagaan). 5. Zakatul Badan (zakat fitrah). 

Landasan Hukum Zakat
            Kewajiban berzakat bagi umat Islam memiliki landasan hukum otentik yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Dalam QS At-Taubah: 103, Allah Swt  berfirman
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103).
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43).
            Sedangkan landasan hadits, salah satunya adalah hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda
 بُنِيَ الإِسْلامُ على خَمْسٍ: شَهادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وأنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ، وَإقَامِ الصَّلاةِ، وَإيْتَاءِ الزَّكاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ (متفق عليه )
 
“Islam dibangun di atas lima hal: kesaksian sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, melaksanakan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa Ramadhan.” (HR Bukhari Muslim) (Imam Nawawi, Riyadlush Sholihin, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2007, halaman: 252).
            Di Indonesia payung hukum zakat berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia (UU) Nomor 38 Tahun 1999 (38/1999). Yang intinya dalam pasal 2 berbunyi: “Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat. 

Kritik Atas Kesalahan Dalam Distribusi Zakat
            Sesuai dengan firman Allah
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya, “Sungguh zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana,” (Surat At-Taubah ayat 60).

Keslahan yang terjadi di masyarakat adalah banyak masyarakat memberikan zakat pada seorang fiqur guru tanpa mengidentifikasi, apakah fiqur guru tersebut tergolong penerima zakat apa bukan. Sering terjadi di masyarakat, pembagian zakat yang diberikan pada seorang figur guru atas dalih fi sabilillah (seperti yang tertera di ayat Al-Qur’an At-taubahc:60). Padahal definisi Fi Sabilillah, menurut hemat penulis kurang tepat, kalau diarahkan pada orang-orang yang mengajar, dosen, ustadz dan guru agama.  Sebab menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bahwa makna Fi Sabilillah adalah Al-Ghazwu wal Jihad (jihad dan berperang di jalan Allah) (Buya Yahya, Kasyful Ghummah Fi Hukmi Shorfi zakati Lil Mashalih Al-Ummah, LPD Al-Bahjah, Cirebon, halaman: 7). Jadi bukan jihad berupa mengajar. Boleh zakat diberikan pada figur guru manakala dia dalam kondisi faqir atau miskin. Jadi pembagian zakat pada figur guru bukan karena ia mendidik dan mengajari masyarakat tentang ilmu agama, tapi karena ia berstatus sebagai mustahiq karena kefakirannya atau karena kemiskinannya.

Ada juga kesalahan yang terjadi baik dilakukan perorangan maupun dilakukan oleh lembaga yang menangani zakat, yaitu kesalahan berupa pendistribusian (pembagian) zakat bukan kepada 8 golongan yang disebutkan tadi, malah zakat dibuat untuk kemaslahatan umat, seperti dialokasikan pada pembangunan sekolah, kampus, masjid dan jalan raya. Ini merupakan kesalahan fatal. Sebab yang namanya zakat, tidak boleh dialokasikan pada yang bukan mustahiq. Mengatasnamakan pembangunan masjid dan gedung-gedung lainnya sebagai Fi Sabilillah adalah kesalahan fatal seperti yang sudah penulis singgung di atas. Bahkan dalam kitab Isadurrofiq halaman 1/113 makna Fi Sabilillah adalah orang-orang yang berperang berjihad di jalan Allah. Jadi, solusinya untuk pembangunan gedung-gedung jangan diambil dari dana zakat, tapi diambil dari penghimpunan dana sedekah atau dana hibah. 

Ada lagi kesalahan yang terjadi di masyarakat adalah berupa ketidaktepatan dalam membagi-bagikan zakat. Misalnya, zakat fitrah. Tidak sedikit di lapangan penulis jumpai prakteik pembagian zakat yang salah, seperti pembagian zakat fitrah yang sudah kadaluarsa, alis membagi-bagikan zakat fitrah sudah keluar dari waktunya. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa waktu wajib zakat fitah dilakukan sejak terbenamnya matahari akhir bulan Ramadhan dan awal bagian bulan syawal. (Syaikh Nawawi al-Bantani, Quut al-Habib al-Gharib, Al-Haramain, tt, halaman: 107). Diperkuat oleh Syaikh Zainuddin al-Malibari bahwa waktu wajibnya berzakat adalah sejak waktu wajib mengeluarkan zakat sampai terbenamnya matahari di hari raya Idul Fitri (Syaikh Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin, Al-Haramain, 2006, halaman: 50). Sehingga diharapkan bagi Amil Zakat, pengelola zakat dan lembaga-lembaga zakat agar sepenuh memerhatikan waktu wajib mendistribusikan zakatd dan profesionalitas yang tinggi. Sebab profesionalitas dalam perbuatan adalah suatu hal yang sangat dicintai oleh Allah Swt.

Semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya bagi kita semua. Dan semoga bagi para pegiat zakat bisa berhati-hati dalam membagi-bagikan zakat. Jangan sampai salah sasaran di dalam mendata dan mengidentifikasi kriteria yang berhak menerima zakat, dan himbauan penulis, dana zakat jangan dibuat untuk kepentingan umum. Biarlah zakat diberikan pada golongan yang berhak menerimanya sesuai Al-Quran yang telah disingging di atas. Semoga bermanfaat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

PALING PUPULER

KONSEP BERBANGSA DAN BERNEGARA SYEKH MUSTAFA AL-GHALAYAINI

Perihal bengsa sama dengan perihal individu bangsa itu sendiri. Tatkala individu bangsa, setiap satu persatu orang-orannya itu m...