MUKADDIMAH ETIKA BISNIS ISLAMI
Hidup di dunia tak
bisa lepas dari aktfitas bisnis. Seiring keberadaan manusia di muka bumi,
bisnis selalu hadir dikehidupan mereka. Bisnis menjadi salah satu faktor
mencari rezeki yang digeluti masyarakat. Urgensi bisnis tidak bisa dipandang
sebelah mata
. Karena bisnis memiliki peran penting, baik dalam membangun rumah
tangga yang sakinah, tercukupi nafkah dan kebutuhan keluarga maupun membangun
jalinan silaturahim lebih kokoh dengan mendistribusikan atau menginfakkan hasil
dari bisnis yang digelutinya.
Keterlibatan
muslim dalam dunia bisnis, bukanlah merupakan suatu fonomena yang baru.
Kenyataan tersebut telah berlangsung sejak empat belas abad yang lalu. Hal
tersebut tidaklah mengejutkan karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan
kegiatan bisnis[1].
Hal ini tercermin dalam sebuah hadits diceritakan, bahwa ada seseorang bertanya
kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulallah, pekerjaan apakah
yang paling baik?” Rasul menjawab: “pekerjaan seseorang dengan tangannya,
dan setiap jual beli yang baik”(HR. Ahmad)[2].
Dari sini kita dapat menilai bahwa aktifitas bisnis, transaksi jual beli dan
muamalah telah ada. Bahkan kita sering mendengar bahwa zaman kuno, mereka yang
berbisnis atau yang bertransaksi dengan menggunakan sistem barter[3]. Hal
ini mengendekasikan, bahwa dunia bisnis bukanlah hal yang baru, tetapi
merupakan hal yang telah lama ada seiring dengan keberadaan manusia di muka
bumi.
Bisnis dalam Islam
bukan hanya sekedar mencari keuntungan semata, atau mengumpulkan kekayaan saja,
tetapi dalam Islam bisnis harus mengikuti tatanan yang telah dipandu oleh
pusaka agung yakni Al-Qur’an dan Hadits yang diajarkan rasul kepada umatnya.
Bukan untuk mengekang umatnya dalam berbisnis, tetapi agar muslim mendapatkan
keuntungan dan kebahagian dunia dan akhiratnya. Oleh karena pebisnis harus
mengetahui hukum-hukum bisnis dan etika berbisnis agar tidak terjerat pada
praktik bisnis yang diharamkan oleh syariat.
Selanjutnya akan
penulis paparkan bisnis yang bagaimana yang sesuai dengan aturan-aturan yang dibuat
oleh Al-Qur’an dan Hadits, dan apa saja yang harus diketahui pebisnis.
SUKSES BISNIS DENGAN ETIKA ISLAM
Islam sungguh telah mengizinkan manusia bekerja untuk mencari
rezeki melalui bisnis, perdagangan dan jual beli, sebagaimana yang Allah Ta’ala
firmankan: “Padahal, Allah telah halalkan jual beli, dan mengharamkan riba”
(al-Baqarah: 275)[4].
Bahkan Rasulullah Saw mensejajarkan para pebisnis yang jujur dengan orang-orang
yang mati syahid, berperang membela agama Allah.
Didalam berbisnis tidak boleh hanya sekedar mengoptimalkan
bisnisnya demi keuntungan semata tanpa adanya pedoman bisnis yang halal, tidak
pula berbisnis dengan semaunya tanpa ada nilai-nilai ibadah atau etika dalam
berbisnis. Karena sejatinya bisnis bukan hanya ingin mendapatkan kebahagian
secara materi tetapi juga non materi,
yaitu kebahagian hati dengan mengikuti bisnis yang diajarkan Rasulullah Saw.
Seorang yang kaya dengan bisnisnya belum tentu dia mendapatkan kebahagian,
ketentraman hati dan keberkahan rezeki. Sebab kekayaan yang ia peroleh dari
hasil bisnis yang tidak dibenarkan oleh Islam, seperti kekayaan yang diperoleh
dengan mendzalimi patnernya, menipu, dan segala praktik bisnis yang dilarang
oleh Islam.
Oleh karenanya pebisnis yang ingin sukses secara Islami, ia harus
mengetahui langkah-langkah apa yang mesti ia optimalkan dalam memulai
bisnisnya. Ibarat orang yang menyetir motor, bila ia tidak tahu tentang
menyetir dan langkah-langkah yang harus dipenuhi dalam mengendarai motor, boleh
jadi ia menabrak atau tertangkap polisi karena tidak bisa menyetir dan tidak
mengindahkan aturan-aturan yang dibuat oleh polisi. Begitu juga didalam dunia
bisnis dibutuhkan pengetahuan (ilmu) bisnis agar tidak terjerumus pada
praktik-praktik yang tidak dilegalkan Islam.
Ada beberapa kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang harus dipegang
dan dipraktikkan oleh pebisnis dalam menjalankan bisnisnya, berdagang, berjual
beli, dan bermuamalah agar mencapai sukses berbisnis secara Islam. Kaidah-kaidah
dan prinsip-prinsip yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:
1.
Niat
yang ikhlas karena Allah.
Dalam memulai
pekerjaan apa pun, manusia wajib memulainya dengan niat yang baik. Sebab setiap
perbuatan tergantung pada niatnya. Jikalau dalam bisnis niatnya bukan karena
Allah bisa jadi ia hanya mendapatkan hasil dari bisnisnya tetapi tidak
mendapatkan bonus dari Allah berupa pahala dalam berbisnis. Padahal sebagaimana
yang dikatakan oleh pakar ekonomi Islami, Dr Muhammad Syafii Antonio bisnis
adalah ibadah dan jihad. Bagaiman mungkin mau dikatakan ibadah dan jihad,
jikalau memulai bisnisnya bukan karena Allah?. Itulah pentingnya niat yang
ikhlas dalam menjalankan bisnis. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
segala amal itu tergantung pada niat. Setiap orang hanya mendapat (pahala)
sesuai niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, maka dia
hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena
dunia yang ingin diperolehnya, atau wanita yang ingin dia nikahi, maka
hijrahnya kepada apa yang ditujuinya” (HR. Bukhari)[5].
2.
Berilmu
sebelum terjun ke dunia bisnis.
Maksudnya adalah tidak adalasan seorang pebisnis untuk tidak
berilmu karena realitas bisnis rentan terjadi hal-hal yang tidak semestinya
dilakukan oleh pebisnis. Tak heran jikalau Umar bin Khatab mengatakan: “tidak
boleh berjualan di pasar kita kecuali orang yang tahu (berilmu) (tentang
masalah ilmu bisnis). Bila tidak ia akan terjerumus pada praktik riba mau tidak
mau. Dengan berbekal ilmu pebisnis akan mengetahui langkah mana yang harus
diambil dan yang harus ditinggalkan. Orientasi bisnis adalah mencari keberkahan
dalam bisnis dengan memperhatikan aturan main yang dipandu oleh Allah dan Rasulnya.
3.
Focus
pada bisnis yang halal.
Islam telah
menjelaskan pada kita tentang konsep halal dan haram. Sampai Rasulullah pun
sangat konsern dengan persoalan yang menyangkut penghasilan dengan cara yang
halal ini[6].
Beliau memberitahukan pada kita bahwa yang halal telah jelas dan yang haram
telah jelas. Jangan sampai apa yang kita konsumsi adalah hasil dari bisnis yang
tidak halal karena akan berkonsekuensi
fatal yang berkelanjutan. Harta yang dihasilkan dari bisnis yang tidak
halal, di saat kita konsumsi kemudian menjadi daging maka neraka yang akan
mengurusnya dan juga ibadah sholat yang kita kerjakan tidak diterima. Dalam
berbisnis mestinya seorang hati-hati dan menjauhi hal-hal yang diharamkan agar
tidak terjerumus pada praktik yang tidak diindahkan oleh Allah dan Rasulnya.
4.
Menghindari
praktik riba.
Praktik riba atau bunga disamping dikecam oleh Islam juga berdampak
pada krisis ekonomi. Hal ini terbukti saat bank konvensional yang notabene
bersistemkan bunga mengalami krisis karena terkena dampak krisis global pada
tahun 1998-1999. Tetapi bank yang tidak bersistemkan bunga tidak terkena imbas
dari krisis tersebut. Imam al-Rozy dalam tafsirnya mengatakan: sebagian hikmah
dalam pengharaman riba dalam tafsirnya tentang ayat-ayat riba sebagai berikut:
a. Bahwa riba adalah mengambil (menerima) harta orang lain tanpa
adanya padanan atau imbalan (pengganti). Contohnya orang yang menjual satu
dirham dengan dua dirham baik secara tunai atau ditangguhkan pembayarannya (mu’ajjal),
penjual menerima dua dirham tanpa adanya iwad atau pengganti. Adapun harta
seseorang itu merupakan kehormatan besar atau haram untuk diambil oleh orang
lain. Rasulullah Saw menegaskan pada umatnya tentang hakikat harta yang
dimiliki pemiliknya sebagaimana sabda beliau, “Cukup seorang dianggap jelek
adalah meremehkan saudaranya yang muslim, setiap muslim atas muslim lainnya
adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR Muslim).
b. Riba -dalam perspektif perekonomian dan sosialisasi- mendorong
pelaku riba malas-malasaan untuk berusaha dan bekerja untuk kebutuahan hidupnya
sehari-hari, karena pada kenyataannya bagi pelaku riba di saat mendapatkan uang
riba, mereka malas-malasan mencari maisyah (kebutuhan hidup), tidak mau
capek-capek bekerja, berdagang, dan berproduksi. Ia hanya ingin duduk manis di
halaman rumahnya menunggu datangnya uang riba. Hal ini akan menyebabkan pelaku
riba pada hilangnya mengambil kemanfaatan (sosialisasi) di antara sesama.
c. Riba –dalam perspektif etika- menyebabkan pada terputusnya amal
ma’ruf/ baik yang berupa memberi utang pada sesama. Riba andai diperbolehkan
maka seorang yang butuh akan memaksakan dirinya untuk mengambil riba yang pada
ujungnya akan menyebabkan lenyapnya persaudaraan, amal ma’ruf, dan ihsan atau
berbuat baik.
d. Riba –dalam perspektif kemanusian- kebanyakan orang yang memberi
utang mereka adalah golongan orang-orang yang mampu (kaya) dan penerima utang
mereka orang-orang yang faqir. Kalau riba diperbolehkan niscaya orang-orang
kaya akan mengambil lebih dari piutang (harta) yang mereka pinjamkan pada
orang-orang faqir yang dhoif. [7]
5. Banyak
bersedekah.
Bisnis yang berkah
adalah bisnis yang selalu diniatkan untuk menghamba pada Allah, artinya bisnis
bukan hanya untuk mengumpulkan uang semata demi kepentingan pribadi tetapi juga
demi agama. Maksudnya adalah harta yang didapatkan dari hasil bisnis diinfakkan
atau disedekahkan dijalan Allah supaya bisnis yang ditekuninya menjadi berkah.
Sebab sejatinya apa-apa yang disedekahkan tidak akan berkurang melainkan
bertambah berrlipat ganda. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang
menjelaskan keutamaaan sedekah dan perintah untuk bersedekah. Salah satunya
adalah hadits yang dinarasikan oleh Abu Hurairah
(r.a.), Nabi Shollahu Alaihi Wasallam pernah bersabda: "Tidak ada hari
yang disambut oleh para hamba melainkan di sana ada dua malaikat yang turun,
sala satunya berkata: "Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang-orang yang
berinfaq. Sedangkan (malaikat) yang lainnya berkata: "Ya Allah berikanlah
kehancuran kepada orang-orang yang menahan (hartanya)." (H.R. Bukhari –
Muslim)
Ala
kulli hal, carilah bisnis yang halal serta niatkan untuk ibadah dan jihad di
jalan Allah Subhanahu Wata’ala, Insya Allah keberkahan rezeki senantiasa akan
menentramkan hati dan merasa cukup dengan apa yang telah ditentukan Allah dalam
pembagian rezeki karena pada dasarnya Allah telah mengatur kadar dan ukuran
rezeki manusia. Bisnis bukan hal yang dilarang bahkan bisnis dianjurkan dalam
Islam sebagaimana Nabi daud dapat makan dari hasil keringat tangan beliau, Nabi
Muhammad berbisnis bersama Khadijah sebelum beliau diangkat menjadi rasul.
Kesuksesan
bisnis bukan dinilai dari segi materi saja tetapi juga dilihat dari praktik dan
pelaku pebisnis. Disaat pebisnis tetap dalam garis yang dipandu oleh Allah dan
rasulnya dalam menjalankan bisnis dan kewajibannya menghamba diri pada Allah
tanpa melalaikan kewajiaban-kewajiaban yang harus dipenuhinya karena kata Imam
Al-Qurtuby dalam tafsirnya: setiap manusia mempunya ikatan (uqud) baik ikatan
pada Allah dan manusia dengan memenuhi ikatan-ikatan yang menjadi kewajiaban
untuk dipenuhi sesuai porsi ikatan tersebut.[8]
Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
Al-Qurtuby, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad (wafat
671 H.) Muqtathafat Min Tafsiri Jaami’il Ahkam. Pasuruan. Pondok Pesantren Sidogiri
Ma’had Tazkia Lil Iqtishad Al-Islami. 1429. Al-Mirshad Fi
Al-Arabiyah Lil Iqtishad. Bogor. STEI Tazkia.
Al-Bukhari Shahih-Bukhari, kitab al-Iman, bab Ma Ja’a
Innal-A’mal bin-Niyyah wal-Hasbah.
Ath-Tharsyah, adnan Sukses Bisnis dan Tips Kaya Secara Islami 2003
Dr. Mustaq Etika Bisnis Dalam Islam. 2001
Musnad Ahmad, no. 17198. Menurut Hamzah Ahmad az-Zain, isnad hadits
ini shahih.
[1]
Etika Bisnis Ahmad 2001.Dalam Islam, karya Dr. Mustaq
[2]
Musnad Ahmad, no. 17198. Menurut Hamzah Ahmad az-Zain, isnad hadits ini shahih.
[3]
“Barter” sering disebut sebagai “perdagangan sesungguhnya” adalah cara tertua
dan paling sederhana dalam melakukan jual beli di bumi, tempat kita hidup ini
dengan cara saling tukar-menukar. Sejak awal peradaban, manusia telah melakukan
tukar-menukar barang dan jasa bagi keterampilan atau barang-barang yang
dimiliki oleh orang lain. (barter 100.com)
[4]
Sukses Bisnis dan Tips Kaya Secara Islami, karya Adnan ath-Tharsyah, 2003
[5] Shahih-Bukhari,
kitab al-Iman, bab Ma Ja’a Innal-A’mal bin-Niyyah wal-Hasbah.
[6]
Etika Bisnis Ahmad 2001.Dalam Islam, karya Dr. Mustaq.
[7]
Al-Mirshad( Mata kuliah Fiqh Muamalah STEI Tazkia)
[8]
Muqtathofat Min Tafsir Jaami’il Ahkam, karya Imam Al-Qurtuby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar