Akulah perantau, ingatlah keluarga di rumahmu, kedua orang tua dan adik-adikmu yang menunggu di sana.
Akulah perantau, yang kerja bekerjalah dengan baik, bekerjalah dengan professional. Uang gajian gunakan sehemat mungkin (bukan pelit), berbagi dengan yang lain meski sedikit. Syukur-syukur dapat mengirimkan uang buat kesejahtraan keluargamu di rumah.
Akulah perantau, di kota orang hanya hidup ugal-ugalan, dapat uang habis dibuat mainan, dibuat judi, dibuat mabuk-mabukan, dan segala hal yang merugikan. Tidakkah ada rasa kasihan, iba dan cinta kepada keluarga yang menunggu uluran tangan atasmu?.
Di kota orang, memang lebih banyak memikiki segala kebebasan, termasuk kebebasan mau melakukan apapun. Sekali lagi, di hati nuranimu yang paling dalam, sejujurnya perantauanmu terpatri sinar niatan suci: minimal mandiri dan tidak menyusahkan kedua orang tuamu. Syukur-syukur dirimu mampu memberikan bea siswa kepada adik-adikmu yang masih sekolah, memberi kepada keluargamu dan kepada orang lain. Sungguh sangat mulia.
Akulah perantau, pikirkan masa depanmu, cita dan keinginanmu serta target yang ingin dicapai. Terlalu dangkal jika dalam perantauanmu hanya memindah badan saja, bermewah-mewahan, berfoya ria, habiskan waktu positifmu. Padahal keluargamu membutuhkan, menunggumu.
Akulah perantau, ingat keluargamu, anak-istrimu, sanak familimu, tetanggamu dan lebih-lebih orang tua dan Tuhanmu, niscaya dirimu tak akan bermain-main di tanah perantauan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar