Akal adalah anugerah yang Allah berikan pada manusia sebagai pembeda dari luar manusia. Dalam ilmu manthiq (logika), Syaikh Abdurrahman al-Ahdlari dalam karyanya, sullam munawwaraq menyatakan ‘al-insanu hayawanu al-nathiq (manusia adalah hewan yang punya logika)’.
Definisi haddi (Ta’rif al-hadi) hewan berakal hanya dituju pada manusia. Sebab selain manusia, seperti kerbau, sapi dan semua hewan lainnya, meski termasuk dalam jenis hewan bersama manusia, tapi tidak disebut hewan al-nathiq (hewan yang punya akal/logika). Inilah yang menjadi diferensiasi yang mencolok antara hewan asli dengan hewan yang berlogika, alias manusia.
Manusia yang Allah ciptakan tak lain untuk beribadah ini, mampukah ia dengan akalnya mengetahui dan menilai baik atau buruk sebuah pekerjaan yang ia lakukan itu? Mampukah akal (logikanya) menilai bahwa perbuatan yang dilakukan dirinya itu diperkenankan atau tidak diperkenankan?.
***
Sebelum penulis bahas lebih mendalam, marilah sejenak ikuti alur berpikirnya akal. Seandainya penulis bertanya kepada saudara pembaca sekalian, bagaimana hukumnya seorang yang melaksanakan sholat dengan sempurna, tapi bersesuci menggunakan air wudu hasil ghasab atau mencuri. Atau pertanyaan bagaimana hukumnya seseorang yang bersedekah dari uang yang dihasilkan dari merampok, korupsi, atau hasil dari menipu orang lain.
Bisa dipastikan, pembaca kalau menjawab berdasarkan akal semata, maka akan didapati hasil jawabannya berbeda-beda menurut kecerdasan dan pola pikir akal/logika masing-masing. Sehingga wajarlah, manakala ada yang menjawab begini: ya daripada tidak sholat sama sekali atau tidak bersedekah masih mending sholat atau sedekah meski hasilnya dari perbuatan terlarang menurut perspektif hukum fikih.
Mungkin saja, ada juga yang menjawab lebih baik tidak melakukan hal demikian karena perbuatan demikian dianggap tidak baik. Dan seterusnya. Begitulah alur mainnya akal, setiap akal manusia pasti berbeda-beda satu sama yang lain. Satu contoh lagi, ketika penulis bertanya, mengapa Juventus kalah dari Atletico di Liga Champion? Bukankah Juventus memiliki pemain-pemain hebat? Pasti jawaban dari pembaca beda-beda menyikapinya.
Selanjutnya penulis bahas tentang hukum. Hukum menurut ulama ushul fiqh, seperti penjelasan dalam kitab ‘ilmu ushulil fiqhi, karya Syaikh Abdul Wahhab Khallaf (hlm. 97) adalah khitabullahi al-muta’allaqu bi af’alil mukallafina thalaban aw takhyiran aw wadl’an, yaitu hukum adalah seruan Allah yang berkenaan dengan aktivitas perbuatan orang-orang mukallaf (terbebankan seruan hukum) yang berisi seruan berupa tuntutan, seruan berisi pilihan dan seruan bersifat wadl’i.
Berbicara hukum tentunya harus mengetahui siapa peletak hukum itu sendiri. Ulama ushul fikih sepakat bahwa peletak hukum (Al-Syari’) adalah Allah Swt. Tapi kemudian yang menjadi polemik di kalangan ulama (cendikiawan muslim) hukum-hukum Allah terkait dengan aktivitas manusia mukallaf, apakah logika (akal manusia) mungkin mengetahui hukum-hukum Allah dengan sendirinya tanpa perantara (wasithah) utusan-utusan Allah dan kitab-kitab Allah.
Dengan pengertian, mampukah manusia (yang belum tersampaikannya dakwah Rasul pada mereka) mampu mengetahui hukum-hukum Allah yang berkenaan dengan perbuatan mereka? Atau tidak mungkinkah logika manusia mengetahui hukum-hukum Allah tanpa adanya perantara Rasul-rasul Allah dan kitab-kitab Allah yang menjelaskan sebuah hukum tersebut?
Pembaca mengetahui bahwa dalam hukum itu ada al-hakim (pembuat hukum), mahkum fiih (objek hukum), mahkuf ‘alaih (sasaran hukum, yaitu di sini manusia mukallaf), dan al-hukm (hukum itu sendiri). Semisal bagaimana hukumnya menunaikan sholat maktubah (sholat lima waktu)?
Peletak hukum adalah Allah Swt (al-hakim huwa Allah). Sholat (mahkum fiih/yang dihukumi). Mahkum ‘alaih (manusia mukallaf melakukan sholat). Wajib (al-hukm/hukumnya). Artinya sholat telah Allah wajibkan pada manusia mukallaf (bukan anak kecil bukan orang gila) yang sesuai firmanNya aqimu ash-sholata (dirikanlah sholat).
Marilah kita simak polemik ulama mengenai akal dan hukum Allah. Pertama adalah pendapat Madzhab al-Asy’ariyah yaitu atba’u Abu’l-Hasan al-Asy’ari (pengikut Imam Abul Hasan al-Asy’ari), peletak paham Ahlussunnah waljamaah dalam teologi Islam.
Menurutnya, akal tidak mungkin mengetahui dan memahami hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia tanpa bantuan adanya rasul-rasul Allah dan kitab-kitab Allah, sebab akal pasti berbeda-beda menyikapi perbuatan manusia. Sebagian manusia berlogika menilai baik pada perbuatan manusia dan sebagian yang lain dengan akalnya menilai buruk perbuatan manusia. Bahkan menurut Imam Asy’ari, akal seseorang saja akan menilai berbeda-beda dalam menyikapi satu perbuatan, apalagi akal banyak orang.
Fondasi pemikiran yang dibangun oleh Imam Asy’ari terkait akal manusia bahwasanya penilaian baik (al-hasan) dalam perbuatan manusia adalah sesuatu perbuatan manusia dapat dinilai baik (al-hasan) pasti oleh Allah Swt diberikan petunjuk (indikasi/dalil) akan kebolehan perbuatan tersebut. Atau, Allah sendiri memberikan tuntutan (thalab) atas melaksanakan perbuatan tersebut. Sebaliknya, perbuatan manusia dinilai buruk (al-qabih) atas petunjuk dari Allah yang berupa adanya tuntutan (thalab) dengan meninggalkan perbuatan tersebut.
Singkatnya, perbuatan manusia dapat dinilai baik atau buruk harus ada dasar legitimasi resmi dari Allah Swt. Dan di sini, akal hanya sebatas sarana dalam memahami hukum Allah dibantu dengan adanya dakwah atau risalah para Nabi dan kitab-kitab yang dibawa para utusan Allah. Dengan begitu miqyas (ukuran) baik dan buruknya perbuatan manusia adalah syariat bukan akal (fa miqyas al-hasan wa’l-qubha fi hadza al-madzhab huwa al-syar’u la al-aqlu).
Kedua, polemik mengenai akal dan hukum Allah dikomentari oleh madzhab Mu’tazilah, pengikut Wasil bin Atha’. Menurutnya, akal mampu mengetahui hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia tanpa harus ada perantaraan rasul-rasul Allah dan kitab-kitabnya. Sebab setiap perbuatan manusia memiliki sifat-sifat dan pengaruh-pengaruh yang menjadikannya berbahaya atau bermanfaat.
Dengan begitu, akal mampu menilai baik dan buruknya perbuatan manusia tersebut berdasarkan dampak atau pengaruh yang dihasilkan dari perbuatan tersebut. Ketika dari perbuatan tersebut berdampak baik maka dengan sendirinya akal akan menilai baik perbuatan tersebut dan sebaliknya.
Oleh sebab itu, hukum Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia mukallaf tersebut tergantung kemampuan akal mencernanya, manfaat atau bahayanya perbuatan tersebut dan Allah Swt menuntut (memberi beban hukum) manusia dengan melakukan perbuatan yang di dalamnya terkandung kebermanfaatan menurut sudut pandang akal manusia itu sendiri dan Allah menuntut untuk meninggalkan perbuatan yang di dalamnya berisi kemudaratan (bahaya) menurut sudut pandang akal (logika) manusia itu sendiri.
Apa yang oleh akal manusia dipandang bagus (hasan/baik) berarti dituntut bagi Allah serta berpahala bagi pelakunya dan sebaliknya.
Sedangkan, fondasi (asas) pemikiran yang terlahir dari paham Mu’tazilah ini adalah bahwa setiap perbuatan manusia dinilai baik bilamana akal menilai baik pula pada perbuatan tersebut, lantaran di dalamnya terkandung manfaat. Dan sebaliknya perbuatan manusia dianggap buruk (qabih) manakala akal menilai buruk perbuatan tersebut karena di dalamnya terkandung bahaya (mudarat).
Oleh karenanya, siapa pun yang belum atau tidak tersampaikan oleh dakwah rasul-rasul atau syariat-syariat pada mereka, mereka masih mukallaf dari Allah dengan melakukan perbuatan yang menurut perspektif akal mereka dinilai baik dan serta meninggalkan perbuatan yang dalam pandangan akal dianggap bahaya.
Dalam pandangan madzhab Mu’tazilah, orang-orang yang berakal tidak bisa mengingkari bahwa setiap perbuatan manusia memiliki keistimewaan dan pengaruh yang menjadikannya baik atau buruk. Siapa yang tidak mengetahui bahwa bersyukur atas nikmat, kejujuran dan memenuhi janji merupakan perbuatan yang baik?
Dan tidak akan mampu orang yang berakal mengingkari bahwa Allah Swt tidaklah mensyariatkan hukum pada perbuatan orang mukallaf, melainkan atas dasar di dalamnya terdapat manfaat atau bahaya. Begitulah pendapat Mu’tazilah. Sehingga wajar bilamana mereka lebih mengedepankah akal pikiran daripada wahyu Allah Swt.
***
Pendapat terakhir, pendapat Madzhab Al-Maturidiyyah, pengikut Imam Abul Mansur al-Maturidi, Tokoh Ahlussunnah Waljamaah. Pendapat ini moderat, tengah-tengah. Dalam kitab Ilmu Ushulil Fiqhi karya Syaikh Abdul Wahhab Khallaf disebut bahwa setiap perbuatan manusia mukallaf memiliki sifat khawwash (istimewa) dan atsaar(pengaruh/dampak) baik atau buruk.
Dengan dasar tersebut, berarti manusia mampu memberikan hukum baik pada perbuatannya dan sebaliknya. Sehingga sesuatu yang dinilai baik oleh akal sehat (al-‘aqlu as-salim) baik, maka sesuatu tersebut dianggap baik pula dan seterusnya.
Tetapi Imam al-Maturidi menyatakan adanya hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia tidak mesti harus selaras dan mencocoki pada apa yang mampu diketahui oleh akal manusia baik dan buruknya sebuah aktivitas tersebut. Sebab terkadang akal jatuh pada lembah kesalahan.
Karenanya, dalam pandangan Imam al-Maturidi, tidak ada jalan mengetahui hukum Allah tanpa adanya wasithah (perantara) rasul-rasul Allah. Dengan begitu, di satu sisi Imam al-Maturidi setuju dengan pendapat Mu’tazilah dalam menyikapi bahwa baik dan buruknya perbuatan adalah bagian dari sesuatu yang mampu dinalar dan dinilai oleh akal itu sendiri atas dasar penglihatan akal pada sisi manfaat dan buruknya yang timbul dari sebuah pekerjaan.
Di sisi lain, Imam al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa hukum Allah mau tidak mau (harus) mencocoki pada hukum akal. Imam al-Maturidi juga sependapat dengan Imam al-Asy’ari** yang menyatakan bahwa hukum Allah hanya bisa diketahui dengan adanya perantara rasul-rasul Allah dan kitab-kitabnya.
Meski begitu, Imam al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat Imam Asy’ari yang menyatakan bahwa al-hasan (baik) dan al-qubha (buruk) sebuah pekerjaan adalah dapat diukur dengan syariat bukan dengan akal, dan bahwa perbuatan tidak dikatakan baik kecuali adanya tuntutan dari Allah atas mengerjakannya serta perbuatan tidak bisa dikatakan buruk kecuali adanya tuntutan dari Allah atas meninggalkannya perbuatan tersebut.
Dalam hal ini Imam al-Maturidi tidak sependapat dengan Imam Al-Asy’ari karena menurutnya hal demikian dianggap secara dzahir adalah buthlan (batil) sebab ummahatul fadlail (pokok-pokok/induk keutamaan dalam perbuatan) sebenarnya mampu diketahui oleh akal (logika) akan kebaikannya lantaran tersimpannya nilai-nilai kemanfaatan (manfaat), dan ummahatul radza’il (pokok-pokok/induk kejelekan perbuatan) dapat dicerna oleh akal keburukannya lantaran di dalamnya tersimpan nilai-nilai bahaya .
Perbedaan ini sejatinya tidak memberikan pengaruh kecuali dengan melihat nisbat (hubungan) bagi manusia yang syariat rasul-rasul belum/tidak tersampaikan pada mereka. Adapun mereka yang telah tersampaikan oleh syariat rasul-rasul maka ukuran baik dan buruknya sebuah perbuatan yang dihubungkan dengan mereka adalah sesuatu yang berdasarkan syariat yang datang pada mereka, sebab akal mereka yang mengetahui sesuatu berdasarkan syariat merupakan sesuatu yang telah disepakati.
Maka itu, apa yang telah syariat (Allah Swt) perintah berarti sesuatu tersebut baik, dituntut perbuatannya, dan berpahala bagi pelakunya. Sedangkan apa yang dilarang oleh syariat (Allah Swt) berarti hal demikian buruk, tertuntut untuk meninggalkannya, dan diancam/disiksa bagi pelakunya.
Akhir kata, akal hanya sebatas sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah. Tanpa adanya bantuan wahyu Allah lewat para rasulnya dan kitab-kitabnya nyaris manusia tidak akan mampu menyimpulkan baik dan buruknya sebuah perbuatan yang dilakukan manusia itu sendiri. Semoga bermanfaat.
Rohmatullah Adny Asymuni
Rohmatullah Adny Asymuni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar